Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestasi Budaya Bali

by - November 16, 2017



Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis.


Without agriculture tourism is nothing

Itulah sepenggal kalimat yang keluar dari mulut salah satu tokoh penting pariwisata Bali (saya lupa namanya) dalam sebuah seminar yang diprakarsai oleh Kementrian Pariwisata di Sanur Paradise Hotel pada Bulan Oktober tahun 2016 lalu. Dikatakan pula daya tarik utama pariwisata Bali awalnya adalah kultur pertanian itu sendiri.
Suasana Subak dari Pelataran Kafe, foto oleh Penulis

Kultur pertanian yang termanifestasi dan Subak menjadi roh dalam pertanian masyarakat Bali. Oh ya, ada yang belum tahu apa itu subak? Baik saya jelaskan terlebih dahulu tentang subak itu sendiri. Saya mendengar berbagai versi tentang pengetian subak itu sendiri. Ada yang mengatakan subak adalah sistem pengairan tradisional masyarakat Bali yang adil yang diterapkan secara turun temurun. Sumber lainnya mengatakan bahwa subak adalah organisasi yang menangani sistem irigasi tersebut. Sedangkan sumber lainnya lagi mengatakan bahwa subak adalah sawah terasering itu sendiri.
Atribut berbayar (seikhlasnya), foto oleh Penulis.

Ada beberapa subak yang ada di Bali, dua di antaranya adalah Subak Jatiluwih yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dan Subak Tegalalang atau yang dikenal dengan Tegalalang rice terrace yang menjadi obyek pada tulisan saya kali ini.
Lapak baru, foto oleh Penulis.

Tegalalang rice terrace ini terletak di Desa Tegalalang, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, tetapi kerap orang mengatakan kalau tempat ini letaknya di Ubud. Mungkin karena letaknya yang relatif dekat dari Ubud. Untuk mencapai tempat ini dibutuhkan waktu _+1 jam 15 menit dari Kota Denpasar. Tidak usah khawatir dengan rute perjalanannya karena dengan sekali klik di google maps, semuanya beres J
Foto-foto, foto oleh Penulis.


Setibanya di lokasi kami memarkir kendaraan (baca : motor). Pengunjung dikenai biaya parkir sebesar lima ribu rupiah per motor. Untuk biaya masuk ke obyek wisata sebenarnya gratis, tetapi di sana terdapat tiga posko donasi. Menurut informasi yang saya peroleh, posko-posko donasi tersebut milik para petani pemilik lahan, padahal menurut salah satu warga para petani tersebut sudah dikasih kompensasi dari pihak pengelola. Di posko pertama di sana tidak ada paksaan untuk membayar atau tidak, ya namanya juga donasi. Di posko kedua kesannya agak di paksa untuk memberi donasi karena pengunjung akan diberhentikan dan di suruh menyisihkan uangnya ke kotak donasi. Dan di posko ketiga lebih jahat lagi, karena setiap pengunjung sudah dipatok harga sepuluh ribu per orang. Lah ini namanya donasi atau pemalakan? Heran saya. Eh daripada emosi membahas keburukan tata kelolanya mending kita membahas keindahaan lanskapnya ya.
Puncak Subak, foto oleh Penulis.

Ketika memasuki pelataran kafe-kafe yang terletak di jalan masuk menuju Subak, pengunjung akan dibuat terkesima dengan keindahan arsitektur ciptaan leluhur Bali jaman dahulu. Sawah bertingkat dengan nilai seni yang tinggi menjadi hal pertama yang dilihat. Pengunjung bisa memilih untuk menikmati hijaunya persawahan bertingkat tersebut hanya dengan bersantai di kafe-kafe yang ada di sekitar daya tarik wisata tersebut atau bisa juga treking menyusuri pematang sawah. Sudah empat kali saya berkunjung ke tempat ini dan seperti biasa saya selalu tertarik untuk treking menyusuri area persawahan ini.
Suasana subak, foto oleh Penulis.

Di kunjungan terkahir saya kemarin saya kaget karena saya melihat sudah ada lapak yang berjualan es krim di tengah areal persawahan, karena sebelumnya tidak ada. Dalam perkuliahan saya tentang perencanaan pariwisata, dosen saya pernah menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran dalam bidang pariwisata, yang semula based on demand (berdasarkan permintaan) menjadi based on need (berdasarkan kebutuhan) dan sekarang menjadi based on enterprise (dikendalikan oleh pengusaha), dimana pengusaha bisa menciptakan hal apa saja di kawasan ataupun daya tarik pariwisata demi mendapatkan uang. Hal serupa saya yakini terjadi di Tegalang juga, namun di sini skalanya masih sangat kecil, tetapi tidak menutup kemungkinan ke depannya bisa meluas. Saya tidak tahu apa motif pengelola membiarkan lapak ini berjualan disana, mungkin karena pajaknya besar sehingga bisa menigkatkan pendapatan. Nah kan salah fokus lagi.
Suasana Subak, foto oleh Penulis.

Di tempat ini pengunjungnya rata-rata wisatawan mancanegara. Sangat jarang ditemukan wisatawan domestik, sampai-sampai para penarik donasi paksaan pun mengingatkan kami untuk memberikan donasi menggunakan bahasa inggris (berarti wajah kami kebule-bulean dong ;) #eakkk). Macam-macam aktivitas biasa dilakukan wisatawan di sana. Ada yg berfoto, trekking, menikmati suasana persawahan, menikmati makanan dan minuman, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang tidak tertangkap mata saya.
Wanderers, foto oleh cowok cakep dari Chile yang menawarkan diri secara spontan. Gracias Senor.


You May Also Like

0 comments