Perjuangan Menuju Supermarket di Sunshine Coast, Queensland

by - July 10, 2020


Selama bulan September sampai dengan Oktober 2019, saya dan 24 teman lain dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan singkat (short course) dengan tema Sustainable Tourism and Hospitality di Griffith University Australia. Kesempatan berharga ini kami sambut dengan penuh sukacita. Cerita lengkapnya ada pada tulisan blog saya tahun kemarin, bisa diakses di sini
Pada satu kesempatan, kami berkunjung ke salah satu distrik di negara bagian Queensland. Sunshine Coast namanya. Tiga hari kami habiskan akhir pekan dengan menikmati alam serta fasilitas yang ada di Glen Eden Resort, sebuah resort by the beach yang telah disiapkan. Suasana berbeda tentu dirasakan di sana. Berpindah dari Gold Coast yang penuh dengan gedung pencakar langit dan sedikit ramai, kami menuju Brisbane yang penuh dengan hiruk-pikuk khas perkotaan, kemudian terpental ke Sunshine coast dengan suasana pedesaan yang sangat asri dan sepi. 
Saya punya cerita lucu sekaligus menegangkan di kota ini. Setibanya di resort tempat kami nginap, kami sibuk menikmati suasana dan fasilitas dalam resort tersebut. Sebagian sibuk mengamati isi dapur, belajar mengoperasikan peralatan dan perlengkapan di sana. Ada pula yang rebahan sambil menikmati pemandangan indah di depan kamar. Sisanya berendam dan berenang di kolam resort. Nikmat. Itu yang dirasakan. 
Sangking nikmatnya suasana, saya dan Yabu Elan ketinggalan rombongan yang sore itu berencana bersama-sama berbelanja kebutuhan dapur untuk tiga hari ke depan di satu-satunya supermarket terdekat di kota itu. Tempat itu kira-kira 5 km jaraknya dari tempat tinggal kami. Berbekal informasi yang kami peroleh dari si Mbak pemilik resort, kira-kira pukul 18.00 sore itu, kami meninggalkan resort menuju jalanan. Dengan penuh kepercayaan diri, kami lebih memilih jalan kaki dibandingkan bis umum, satu-satunya moda tranportasi di kota ini. Pilihan kami bukan tidak berdasar. Sebelum berangkat kami sudah berkonsultasi dengan pemilik resort dan kata mereka “dekat” (dekat menurut bule. Hmm). 
Kami merasa salah arah setelah berjalan beberapa kilometer. Kali ini kami berusaha mempercayai aplikasi penunjuk arah yang ada di ponsel tetapi hasilnya nihil. Mau bertanya ke orang lokal, tetapi tidak ada satu pun orang lokal yang kami temui. Padahal deretan rumah berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Kami pun mulai bertanya-tanya dimana semua orang. Setelah bolak-balik di jalan yang sama kira-kira tiga kali, kami akhirnya bisa menarik napas lega ketika melihat sebuah mobil dari arah berlawanan mendekat. Kami pun mempersiapkan diri dengan baik dan berdiri persis di badan jalan raya dan melambaikan tangan ke jalan, tanda memberhentikan mobil yang lewat khas orang Indonesia. Sayangnya dewi fortuna tidak berada di pihak kami saat itu. Kami tidak dihiraukan oleh orang yang mengemudikan mobil tersebut. 
Dengan berat hati kami mulai melangkah kembali. Beberapa meter berjalan, kami akhirnya bertemu seorang lelaki baik hati yang sedang memperbaiki sesuatu di depan rumahnya. Si tampan memberikan arah dan akhirnya kami mulai melangkah dengan percaya diri sesuai arah yang diberikan. Arah yang ditunjuk sepertinya meragukan karena harus melewati jalan tikus (kecil) yang sangat sepi. Kami pun akhirnya memasuki sebuah lembah saat matahari kembali ke peraduannya. Bayangkan, keadaan begitu sepi, di sebuah lembah dan kegelapan sudah menyambut dan dua orang gadis yang masih awam dengan keadaan sekeliling. Lewat dari lembah, kami akhirnya menemukan jalan raya. Lega rasanya.
Rupanya kami terlalu cepat menarik napas lega, karena setelah itu kami melewati sebuah trotoar yang dipisahkan hutan dari jalan raya. Saat itu keadaan sudah sangat gelap. Sekitar satu kilometer panjang trotoar tersebut, tanpa lampu yang menerangi. Suara berbagai macam hewan mewarnai perjalanan kami sepanjang trotoar tersebut. Saat itu hanya kami berdua yang melintasi sisi trotoar tersebut. Rasa takut, cemas, dan tegang bercampur jadi satu. Masing-masing hanya berdiam diri dengan pikiran yang berkecamuk, tanpa berani melontarkan sepatah kata pun. Sampai pada satu titik, saat ketakutan sudah mencapai puncak, kami saling melemparkan tatapan. Melihat ketakutan yang terpancar pada mata satu sama lain, tanpa aba-aba, kami pun berlari sekencang-kencangnya sampai tampak jalan raya di hadapan. Perjalanan dilanjutkan sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Trauma dengan pengalaman perjalanan pergi, kami memutuskan untuk menggunakan jasa transportasi umum sepulang dari tempat tersebut. Tabe.
Salah satu sudut yang membuat saya terlena.

You May Also Like

0 comments