Nyanyi lagu pantai mari santai
Lirik lagu dari sebuah grup musik bergenre reggae ini memang enak di dengar, apalagi dihayati liriknya ketika sedang berada di pantai.
Setelah puas menyusuri tiga pantai seharian (Melasti, Dreamland, dan Padangpadang), kami masih punya satu utang pantai yang harus kami jelajahi. ya, pantai Nyangnyang menjadi pantai terakhir dalam list perjalanan kami hari itu.
Suasana pantai 2, foto oleh Penulis |
Sebenarnya sudah sejak lama saya bernafsu untuk mengunjungi pantai ini, namun karena tidak ada kawan dan waktu untuk mengunjunginya akhirnya saya hanya bisa mengubur keinginan itu. Saya bersyukur karena sepupu saya datang dan tujuannya hanya untuk mengunjungi pantai-pantai tersembunyi di Bali. Yeahhh akhirnya saya ke pantai ini.
Jalur treking menuju pantai, foto oleh Penulis |
Pantai ini belum terkelola dengan baik. Mungkin karena akses menuju ke sana yang tergolong sulit. Untuk menuju ke pantai ini, kami harus melakukan trekking menurun selama _+20 menit. Di beberapa titik sepanjang perjalanan menuju pantai kami menemukan beberapa warung semi permanen. Ada yang menjajakan oleh-oleh khas khas bali, ada juga yang menjajakan makanan dan minuman. Kami berhenti di salah satu warung yang menjajakan kelapa muda dan beberapa jenis minuman lainnya. Disini kami mengobrol panjang lebar dengan sang ibu pemilik warung. Mengenai isi obrolan ini akan saya uraikan di bagian terakhir tulisan ini.
Foto bersama Ibu Pemilik warung, foto oleh Lisye |
Setelah kurang lebih 15 menit mengobrol, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju bibir pantai. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan beberapa ekor monyet yang sedang bercengkrama di atas pohon gamal, sambil berlompatan dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Ada juga yang memadu kasih. Ahh indahnya, trus saya kapan? (kannnn, malah curhat;)).Tak perlu takut dengan monyet-monyet ini karena mereka tidak berniat mengganggu pengunjung.
Di salah satu ruas jalan juga terpampang tulisan di atas papan kayu yang mengisyaratkan pengunjung untuk mengikuti batu putih, yang sengaja diletakkan penduduk setempat untuk memudahkan pengunjung menuju lokasi (karena ada banyak persimpangan menuju ke tempat ini). Setelah bersusah payah sepanjang perjalanan, kamipun tiba di lokasi. Suasananya masih benar-benar asri. Di sana kami menyapa dua orang ibu pemilik satu-satunya warung di bibir pantai yang sedang membersihkan bulu babi (sejenis binatang laut yang memiliki duri tajam di cangkangnya). Obrolan kami terputus oleh seorang wisatawan asing yang mau membeli minuman di warung sang ibu.
Bulu babi, foto oleh Penulis |
Okay, dari warung sang ibu kami bertolak menuju arah utara untuk menikmati lembutnya pasirnya serta dinginnya angin yang bertiup di sore itu. Tak lupa kami menanggalkan alas kaki kami biar bisa bersentuhan langsung dengan alam. Sejauh mata memandang terhampar birunya laut dan dan coklatnya pasir khas pantai Pulau Dewata. Sesekali tampak beberapa orang yang melakukan aktivitas paragliding, juga burung-burung pantai yang terbang dengan indahnya menikmati kebebasan. Sungguh perpaduan yang indah.
Aktivitas Paragliding tampak jauh, foto oleh penulis. |
Aktivitas Paragliding tampak dekat (setelah dizoom), foto oleh Penulis |
Ketika Sang penguasa udara mengepakkan sayapnya, foto oleh Penulis |
Pantai ini memiliki garis pantai yang panjang, akan tetapi hanya terlihat kurang dari sepuluh orang wisatawan yang berseliweran di sini dari awal datang hingga kami pulang. Benar-benar berasa pantai pribadi.
Suasana pantai 3, foto oleh Penulis |
Suasana pantai 3, foto oleh Lisye |
Oh ya, di pantai ini terdapat rumah-rumah bola yang khusus disewakan oleh salah satu resort yang ada di area dekat parkiran untuk tamu istimewanya. Menurut ibu-ibu yang kami ajak ngobrol sebelumnya (tempat persinggahan pertama), rumah-rumah bola ini disewakan dengan harga sewa 1,5 juta per malam. "Bule-bulenya tidak suka dengan kebisingan" imbuhnya. Hanya ada 6 rumah bola di bibir pantai itu, 4 di sisi utara dan 2 di sisi selatan. Semua kebutuhan penyewa rumah bola dipenuhi oleh pegawai resort, bahkan makanannya pun diantar dengan berjalan kaki oleh pegawai resort. Kebetulan kami mengunjungi tempat itu pada hari selasa jadi hanya dua rumah bola yang mendapatkan tamu, sedangkan menurut si ibu, pada hari sabtu dan minggu banyak yang menyewa dan berkunjung ke tempat itu, bahkan ada pula yang mendirikan tenda sendiri dan bermalam di sana. Dalam hati saya berkata "suatu saat harus kesini lagi dan harus camping. Amin. Setelah mengambil beberapa foto dengan si ibu kami pun melanjutkan obrolan. Menurut si ibu, pedagang yang berjualan di sana semuanya merupakan warga lokal.
Rumah Bola, foto oleh Penulis |
Di saat matahari mulai beranjak turun kami bertemu dengan beberapa nelayan yang baru pulang berlayar. Kami kemudian meminta salah satu pemuda untuk mengambil foto kami, karena kebetulan hanya pergi berdua ke sana. Dari empat kali jepretan, hanya dua foto yang jadi, tetapi satu fotonya malah dizoom. Yaaahhh adek sedih, tetapi tak mengapa karena rasa sedih tersebut dibayar dengan indahnya matahari terbenam sore itu. Sungguh matahari terbenam terindah yang pernah saya temui. Terimakasih untuk ciptaanmu yang ini indah ini.
Hasil foto si Pemuda |
Setelah matahari jingga sempurna kembali ke peraduannya, kami pun harus kembali ke parkiran untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denpasar. Ingin rasanya melipat jarak biar segera sampai ke parkiran, tetapi apa daya itu hanya akan terjadi atas kuasa Tuhan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya pada pukul 18.30 tibalah kami di parkiran motor. Mau membilas badan dan mengganti baju akibat seharian berendam di tiga pantai, eh malah airnya lagi mati/tidak mengalir. Akhirnya kami memutuskan untuk basah-basahan sampai tiba di Denpasar. Sungguh malang nasibku. Seakan dewi fortuna berpaling dari kami, ketika mencari kunci motor, eh kunci motornya malah kabur. Kami terpaksa menghabiskan waktu sekitar 10 menitan hanya untuk mencari kunci motor. Syukur Ada ibu-ibu yang nyamperin kami karena melihat kami kebingungan. Ternyata kunci motor kami tertinggal ketika kami terburu-buru menuju pantai. Ya Tuhan, syukur ini di Bali, kalau di tempat lain wassalam deh.
BACA JUGA :Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 1, foto oleh Penulis |
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 2, foto oleh Lisye |
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 3, foto oleh Lisye |
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 4, foto oleh Lisye |
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 5, foto oleh Lisye |
GREENBOWL : PANTAI TERSEMBUNYI DI SISI SELATAN PULAU DEWATA
PESONA MATAHARI TERBENAM DAN CAFE TEPI TEBING DI PANTAI SULUBAN
ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR