Produk pertanian lokal dan permasalahannya

by - July 07, 2020



Masih menjadi misteri mengapa harga jual produk pertanian lokal menjadi lebih murah di kota dibandingkan di desa asalnya.

Kemarin sepanjang perjalanan dari perbatasan Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai hingga mendekati Kota Ruteng kami disuguhi pemandangan buah-buahan yang terpajang di sepanjang lapak para pedagang. Pada musim ini (kurang lebih 3 bulan terakhir), jeruk yang menjadi primadona.

Ada yang menjajakannya langsung dipinggir jalan hanya bermodalkan piring sebagai tatakannya dan kursi sebagai tempat untuk memajang buah dagangannya, sampai ada juga yang rela membangun lapak semi permanen dari bambu, lengkap dengan atap dan tempat duduk bagi pedagangnya. Menarik untuk dilihat, terutama apabila yang melakukan perjalanan merupakan orang dari luar NTT atau luar Indonesia.

Seperti biasa jeruk selalu mencuri perhatian saya (seperti yang sudah saya uraikan di tulisan saya sebelumnya). “Kalau sudah liat jeruk, bawaannya pengen beli saja”, orang Ende bilang. Hahaha.

Melihat banyaknya jeruk-jeruk yang teratur rapi bak pagar betis ini, naluri pecinta buah-buahan saya bergelora. Saya pun meminta abang untuk berhenti dengan niat untuk membeli barang satu atau dua kumpul jeruk sebagai bekal perjalanan. Dalam hati saya sudah membayangkan pasti harganya murah, toh mereka tidak perlu merogoh kocek untuk biaya angkutan ke kota.

Ternyata dugaan saya salah saudara-saudara. Harganya sangat mahal, jauh lebih mahal dari yang dijajakan di pasar Waesambi, Kota Labuan Bajo. Kenapa bisa begitu? Kalau ada yang tahu alasannya mungkin bisa memberikan jawaban di kolom komentar di bawah ya.

Saya teringat kembali pada perbincangan antara saya dan Bapak Saya beberapa belas tahun lalu terkait hal ini (sayangnya saya tidak pernah punya niat untuk mencari tahunya waktu itu). Setiap pulang ke Wanes (kampung saya) atau kembali ke Kota Ende (sebuah kota Kabupaten di Pulau Flores, NTT), biasanya angkutan umum yang membawa kami akan berhenti di Nduaria (sebuah pasar tradisional, tidak jauh dari Danau Kelimutu). Di sana berjejer rapi aneka buah-buahan dan sayur-sayuran segar yang memanjakan mata, juga jenis makanan lain seperti telur rebus, jagung rebus dan lain-lain.

Mulanya saya mengira harganya akan jauh lebih murah karena sebelum memasuki kawasan pasar tradisional dan setelah melewati kawasan tersebut, pohon-pohon jeruk yang memamerkan kuning ranum buah yang dihasilkannya, menjulang tinggi dengan buah yang hampir menggeser posisi dari daun-daun tersebut. Berbuah sangat lebat. Tetapi sayangnya (sekali lagi) harga yang ditawarkan di pasar tradisional di kampung ini sangat mahal. Dua sampai tiga kali lipat dari harga yang ditawarkan di pasar wolowona, Kota Ende. Mengapa demikian? Adakah di antara pembaca yang budiman mengetahui alasan logis di balik semua ini? Danke.

 

NB : setelah ini mungkin saya akan riset, dan setelah mengetahui jawabannya, saya akan membuat postingan baru berisi penjelasan logisnya. Doakan semoga saya segera menemukan jawabannya ya.

 

 


You May Also Like

0 comments