Tawar Naik : Sebuah Pelajaran Hidup

by - July 06, 2020

Kemarin, hari sabtu seperti biasa saya mengunjungi Pasar Waekesambi karena di hari itu pedagang-pedagang dari berbagai kampung membawakan hasil panen mereka untuk dijajakan di sana. Semua jenis buah-buahan dan sayur-mayur khas daerah setempat hadir jejer-berjejer seakan mempertaruhkan nasib mereka “jenis manakah yang lebih dahulu laku terjual?”. 

Ada sayur-mayur hasil domestikasi sampai sayur-mayur yang tumbuh liar di hutan. Ada buah lokal berkulit hijau sampai berkulit oranye. Soal harga jangan ditanyakan lagi, murah meriah muntah kata anak jaman now. Buah-buahan selalu mencuri perhatian. Saya suka membeli buah sesuai musimnya. Selain harganya yang tentu jauh lebih murah karena persediannya yang melimpah, kandungan gizi yang dihasilkannya pun lebih kaya. 

Menurut sebuah artikel, buah yang dihasilkan dimusimnya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi tubuh kita karena tidak berebut unsur hara saat bertumbuh dan berbuah, serta proses pembuahannya tidak dipaksakan (tidak ditambahkan zat-zat kimia tertentu untuk menghasilkan buah). 

Khasiat yang dihasilkan dari buah-buahan tersebut pun berbeda-beda sesuai dengan warna kulit buahnya. Buah berkulit hijau baik untuk detoksifikasi, kuning baik untuk kesehatan kulit, oranye: anti inflamasi, merah baik untuk kesehatan jantung, ungu untuk detoksifikasi (silahkan mencari artikel mengenai khasiat buah-buahan untuk validasi). Kemarin ada empat jenis buah yang dibeli yaitu jeruk, pepaya, jambu biji dan markisa. Yang mau diceritakan adalah jenis terakhir.                    

Setelah mengitari pasar, mata saya tertuju pada sekumpulan buah yang berada di hadapan seorang ibu. Ibu tersebut sedang melayani seorang pembeli yang berminat dengan buah labu jepang, salah satu barang dagangan sang ibu tersebut. Saat itu saya sedang terburu-buru, dan memotong pembicaraan si ibu dan bapa pembeli tersebut “berapa harga markisanya tanta?” tanya saya, “20 ribu, tapi ambil saja semua. Satu kilo lebih semuanya. Saya juga mau pulang” jawab ibu ini tanpa pikir panjang. “Baik sudah tanta. Saya ambil e” timpal saya. 

Setelah melayani si Bapa tadi, Sang Ibu mulai meletakkan buah tersebut ke sebuah timbangan. Setelah dimasukkannya markisa-markisa tersebut, ternyata hampir dua kilo semuanya. Rugi dong kalau ia melepaskan semuanya. Sang ibu kemudian hanya mengisi sekilo lebih sedikit ke dalam kantong belanjaan saya. Aksi protes pun tak dapat dielakkan “tadi katanya semuanya, kok ini lain lagi?” si Ibu senyum malu-malu lalu memasukkan kembali beberapa buah markisa ke dalam kantong belanjaan. 

Saya pun merasa bersalah dengan celetukkan tadi karena bagaimanapun juga si ibu pasti merasa rugi karena kelebihannya sampai dua kali lipat daripada jumlah yang harus ia lepaskan. Sementara saya bergumul dengan pikiran sendiri, sang ibu terus memasukkan markisa-markisa ini, tetapi dia sisakan tiga buah di lapaknya. Dengan rasa bersalah, saya lalu menambahkan sejumlah uang dan meminta sang Ibu untuk merelakan tiga buah tadi untuk dimasukkan ke kantong belanjaan saya. Senyum pun merekah dari wajah sang ibu.

Kasus di atas mengingatkan saya akan pesan seorang Pendeta dari GBI Rock Nabire, Papua. Beliau merupakan Bapak dari teman kos saya semasa kuliah di Jogja, Kak Sara namanya. Beberapa waktu lalu, Kak Sara beserta Bapak dan Mamanya mengunjungi Pulau Dewata dalam rangka mengikuti kegiatan gereja. Kebetulan waktu itu saya masih mengenyam pendidikan di sana. Kami ditugaskan untuk merebus sayur-sayuran sehat (Brokoli, kentang dan wortel waktu itu) dan membawanya ke hotel tempat Sang Pendeta dan istri menginap. 

Sayuran tersebut dijajakan harga yang sangat murah, tetapi naluri emak-emak kami merasa belum puas kalau kami belum melakukan proses tawar-menawar :D. Saat itu kami membawa pulang sayur-sayuran ini dengan harga yang lebih murah dari harga semula yang sudah murah itu. Sesampainya di hotel, dengan berapi-api kami menceritakan penawaran terbaik kami kepada Bapak dan Mama Kak Sara, seolah-olah hal itu sebuah merupakan prestasi terbesar. Lalu dengan halus Pak Pendeta menampar kami dengan kata-katanya “kalau tawar di pasar itu, terutama ke nenek-nenek tua itu jangan tawar turun, tetapi tawar naik. Maksudnya, kalau harganya 5 ribu kalian jangan tawar jadi 3 ribu, tetapi kalian membayar lebih dari harga yang ditawarkan. Kalian bisa memberikan ke orang yang bersangkutan, 7 ribu bahkan 10 ribu. Kalau pedagangnya bahagia dengan harga terbaik yang kalian berikan, yakin saja makanan tersebut akan menjadi berkat bagi kalian”. Seketika saya bagai tersambar petir (Kak Sara sepertinya tidak, karena mamtua su biasa dengar mungkin. Hahaha).

Mulai saat itu, saya mulai membiasakan diri untuk tidak melakukan tawar turun terutama apabila produk yang dibeli adalah makanan. Hal ini memang susah dilakukan terutama apabila naluri emak-emak sudah mulai bergejolak dan sering kali lupa akan nasihat tersebut. Akan tetapi saya selalu berusaha untuk menerapkannya. ternyata ada perbedaan di sana. Makanan-makanan yang dibeli sering berakhir di tempat sampah apabila penawaran yang dilakukan berlebihan a.ka tidak manusiawi (apalagi sii pedagang sampe muka asam) karena setelah itu akan hadir kemageran yang luar biasa untuk mengolahnya, atau karena rasanya tidak seenak ekspektasi (terutama buah). Sebaliknya, apabila sama sekali tidak tidak ada tawar-menawar waktu pembelian atau tawar-menawarnya masih dalam batas normal dan pedagang melepaskan dagangannya dengan senyuman manis, makanan tersebut akan terasa lebih enak dan pasti habis dilahap. Tabe.

Markisa, si pencuri perhatian
Markisa, si pencuri perhatian



You May Also Like

0 comments