Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis. |
Without agriculture tourism is nothing
Itulah sepenggal kalimat yang
keluar dari mulut salah satu tokoh penting pariwisata Bali (saya lupa namanya)
dalam sebuah seminar yang diprakarsai oleh Kementrian Pariwisata di Sanur
Paradise Hotel pada Bulan Oktober tahun 2016 lalu. Dikatakan pula daya tarik
utama pariwisata Bali awalnya adalah kultur pertanian itu sendiri.
Suasana Subak dari Pelataran Kafe, foto oleh Penulis |
Kultur pertanian yang
termanifestasi dan Subak menjadi roh dalam pertanian masyarakat Bali. Oh ya,
ada yang belum tahu apa itu subak? Baik saya jelaskan terlebih dahulu tentang
subak itu sendiri. Saya mendengar berbagai versi tentang pengetian subak itu
sendiri. Ada yang mengatakan subak adalah sistem pengairan tradisional masyarakat
Bali yang adil yang diterapkan secara turun temurun. Sumber lainnya mengatakan
bahwa subak adalah organisasi yang menangani sistem irigasi tersebut. Sedangkan
sumber lainnya lagi mengatakan bahwa subak adalah sawah terasering itu sendiri.
Atribut berbayar (seikhlasnya), foto oleh Penulis. |
Ada beberapa subak yang ada di
Bali, dua di antaranya adalah Subak Jatiluwih yang telah diakui sebagai Warisan
Budaya Dunia oleh UNESCO dan Subak Tegalalang atau yang dikenal dengan
Tegalalang rice terrace yang menjadi obyek pada tulisan saya kali ini.
Lapak baru, foto oleh Penulis. |
Tegalalang rice terrace ini
terletak di Desa Tegalalang, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, tetapi
kerap orang mengatakan kalau tempat ini letaknya di Ubud. Mungkin karena
letaknya yang relatif dekat dari Ubud. Untuk mencapai tempat ini
dibutuhkan waktu _+1 jam 15 menit dari Kota Denpasar. Tidak usah khawatir
dengan rute perjalanannya karena dengan sekali klik di google maps, semuanya
beres J
Foto-foto, foto oleh Penulis. |
Setibanya di lokasi kami memarkir
kendaraan (baca : motor). Pengunjung dikenai biaya parkir sebesar lima ribu
rupiah per motor. Untuk biaya masuk ke obyek wisata sebenarnya gratis, tetapi
di sana terdapat tiga posko donasi. Menurut informasi yang saya peroleh,
posko-posko donasi tersebut milik para petani pemilik lahan, padahal menurut
salah satu warga para petani tersebut sudah dikasih kompensasi dari pihak
pengelola. Di posko pertama di sana tidak ada paksaan untuk membayar atau tidak,
ya namanya juga donasi. Di posko kedua kesannya agak di paksa untuk memberi
donasi karena pengunjung akan diberhentikan dan di suruh menyisihkan uangnya ke
kotak donasi. Dan di posko ketiga lebih jahat lagi, karena setiap pengunjung
sudah dipatok harga sepuluh ribu per orang. Lah ini namanya donasi atau
pemalakan? Heran saya. Eh daripada emosi membahas keburukan tata kelolanya
mending kita membahas keindahaan lanskapnya ya.
Puncak Subak, foto oleh Penulis. |
Ketika memasuki pelataran
kafe-kafe yang terletak di jalan masuk menuju Subak, pengunjung akan dibuat
terkesima dengan keindahan arsitektur ciptaan leluhur Bali jaman dahulu. Sawah bertingkat
dengan nilai seni yang tinggi menjadi hal pertama yang dilihat. Pengunjung bisa
memilih untuk menikmati hijaunya persawahan bertingkat tersebut hanya dengan
bersantai di kafe-kafe yang ada di sekitar daya tarik wisata tersebut atau bisa
juga treking menyusuri pematang sawah. Sudah empat kali saya berkunjung ke tempat
ini dan seperti biasa saya selalu tertarik untuk treking menyusuri area
persawahan ini.
Suasana subak, foto oleh Penulis. |
Di kunjungan terkahir saya
kemarin saya kaget karena saya melihat sudah ada lapak yang berjualan es krim
di tengah areal persawahan, karena sebelumnya tidak ada. Dalam perkuliahan saya
tentang perencanaan pariwisata, dosen saya pernah menjelaskan bahwa telah terjadi
pergeseran dalam bidang pariwisata, yang semula based on demand (berdasarkan
permintaan) menjadi based on need (berdasarkan kebutuhan) dan sekarang menjadi based
on enterprise (dikendalikan oleh pengusaha), dimana pengusaha bisa menciptakan
hal apa saja di kawasan ataupun daya tarik pariwisata demi mendapatkan uang. Hal
serupa saya yakini terjadi di Tegalang juga, namun di sini skalanya masih
sangat kecil, tetapi tidak menutup kemungkinan ke depannya bisa meluas. Saya tidak
tahu apa motif pengelola membiarkan lapak ini berjualan disana, mungkin karena
pajaknya besar sehingga bisa menigkatkan pendapatan. Nah kan salah fokus lagi.
Suasana Subak, foto oleh Penulis. |
Di tempat ini pengunjungnya
rata-rata wisatawan mancanegara. Sangat jarang ditemukan wisatawan domestik,
sampai-sampai para penarik donasi paksaan pun mengingatkan kami untuk
memberikan donasi menggunakan bahasa inggris (berarti wajah kami kebule-bulean
dong ;) #eakkk). Macam-macam aktivitas biasa dilakukan wisatawan di sana. Ada
yg berfoto, trekking, menikmati suasana persawahan, menikmati makanan dan
minuman, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang tidak tertangkap mata saya.
Wanderers, foto oleh cowok cakep dari Chile yang menawarkan diri secara spontan. Gracias Senor. |
Sekian dulu yang coretan tidak
beraturan dari saya hari ini. Terimakasih sudah berkunjung. J
TERHEMPAS OMBAK TERBAKAR MATAHARI DI PANTAI DREAMLAND
BACA JUGA :