Laman

  • Beranda
  • halo, I am an amateur blogger
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

Search This Blog

Powered by Blogger.

Report Abuse

About me

Novi Tani
View my complete profile
  • Beranda

Mengenai saya

Novi Tani
View my complete profile

Perjuangan Menuju Supermarket di Sunshine Coast, Queensland

Selama bulan September sampai dengan Oktober 2019, saya dan 24 teman lain dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur memperoleh kesempatan ...

  • Beranda

Pariwisata, kebudayaan, dan perjalanan wisata

facebook google twitter tumblr instagram linkedin


Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis.


Without agriculture tourism is nothing

Itulah sepenggal kalimat yang keluar dari mulut salah satu tokoh penting pariwisata Bali (saya lupa namanya) dalam sebuah seminar yang diprakarsai oleh Kementrian Pariwisata di Sanur Paradise Hotel pada Bulan Oktober tahun 2016 lalu. Dikatakan pula daya tarik utama pariwisata Bali awalnya adalah kultur pertanian itu sendiri.
Suasana Subak dari Pelataran Kafe, foto oleh Penulis

Kultur pertanian yang termanifestasi dan Subak menjadi roh dalam pertanian masyarakat Bali. Oh ya, ada yang belum tahu apa itu subak? Baik saya jelaskan terlebih dahulu tentang subak itu sendiri. Saya mendengar berbagai versi tentang pengetian subak itu sendiri. Ada yang mengatakan subak adalah sistem pengairan tradisional masyarakat Bali yang adil yang diterapkan secara turun temurun. Sumber lainnya mengatakan bahwa subak adalah organisasi yang menangani sistem irigasi tersebut. Sedangkan sumber lainnya lagi mengatakan bahwa subak adalah sawah terasering itu sendiri.
Atribut berbayar (seikhlasnya), foto oleh Penulis.

Ada beberapa subak yang ada di Bali, dua di antaranya adalah Subak Jatiluwih yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dan Subak Tegalalang atau yang dikenal dengan Tegalalang rice terrace yang menjadi obyek pada tulisan saya kali ini.
Lapak baru, foto oleh Penulis.

Tegalalang rice terrace ini terletak di Desa Tegalalang, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, tetapi kerap orang mengatakan kalau tempat ini letaknya di Ubud. Mungkin karena letaknya yang relatif dekat dari Ubud. Untuk mencapai tempat ini dibutuhkan waktu _+1 jam 15 menit dari Kota Denpasar. Tidak usah khawatir dengan rute perjalanannya karena dengan sekali klik di google maps, semuanya beres J
Foto-foto, foto oleh Penulis.


Setibanya di lokasi kami memarkir kendaraan (baca : motor). Pengunjung dikenai biaya parkir sebesar lima ribu rupiah per motor. Untuk biaya masuk ke obyek wisata sebenarnya gratis, tetapi di sana terdapat tiga posko donasi. Menurut informasi yang saya peroleh, posko-posko donasi tersebut milik para petani pemilik lahan, padahal menurut salah satu warga para petani tersebut sudah dikasih kompensasi dari pihak pengelola. Di posko pertama di sana tidak ada paksaan untuk membayar atau tidak, ya namanya juga donasi. Di posko kedua kesannya agak di paksa untuk memberi donasi karena pengunjung akan diberhentikan dan di suruh menyisihkan uangnya ke kotak donasi. Dan di posko ketiga lebih jahat lagi, karena setiap pengunjung sudah dipatok harga sepuluh ribu per orang. Lah ini namanya donasi atau pemalakan? Heran saya. Eh daripada emosi membahas keburukan tata kelolanya mending kita membahas keindahaan lanskapnya ya.
Puncak Subak, foto oleh Penulis.

Ketika memasuki pelataran kafe-kafe yang terletak di jalan masuk menuju Subak, pengunjung akan dibuat terkesima dengan keindahan arsitektur ciptaan leluhur Bali jaman dahulu. Sawah bertingkat dengan nilai seni yang tinggi menjadi hal pertama yang dilihat. Pengunjung bisa memilih untuk menikmati hijaunya persawahan bertingkat tersebut hanya dengan bersantai di kafe-kafe yang ada di sekitar daya tarik wisata tersebut atau bisa juga treking menyusuri pematang sawah. Sudah empat kali saya berkunjung ke tempat ini dan seperti biasa saya selalu tertarik untuk treking menyusuri area persawahan ini.
Suasana subak, foto oleh Penulis.

Di kunjungan terkahir saya kemarin saya kaget karena saya melihat sudah ada lapak yang berjualan es krim di tengah areal persawahan, karena sebelumnya tidak ada. Dalam perkuliahan saya tentang perencanaan pariwisata, dosen saya pernah menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran dalam bidang pariwisata, yang semula based on demand (berdasarkan permintaan) menjadi based on need (berdasarkan kebutuhan) dan sekarang menjadi based on enterprise (dikendalikan oleh pengusaha), dimana pengusaha bisa menciptakan hal apa saja di kawasan ataupun daya tarik pariwisata demi mendapatkan uang. Hal serupa saya yakini terjadi di Tegalang juga, namun di sini skalanya masih sangat kecil, tetapi tidak menutup kemungkinan ke depannya bisa meluas. Saya tidak tahu apa motif pengelola membiarkan lapak ini berjualan disana, mungkin karena pajaknya besar sehingga bisa menigkatkan pendapatan. Nah kan salah fokus lagi.
Suasana Subak, foto oleh Penulis.

Di tempat ini pengunjungnya rata-rata wisatawan mancanegara. Sangat jarang ditemukan wisatawan domestik, sampai-sampai para penarik donasi paksaan pun mengingatkan kami untuk memberikan donasi menggunakan bahasa inggris (berarti wajah kami kebule-bulean dong ;) #eakkk). Macam-macam aktivitas biasa dilakukan wisatawan di sana. Ada yg berfoto, trekking, menikmati suasana persawahan, menikmati makanan dan minuman, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang tidak tertangkap mata saya.
Wanderers, foto oleh cowok cakep dari Chile yang menawarkan diri secara spontan. Gracias Senor.


Sekian dulu yang coretan tidak beraturan dari saya hari ini. Terimakasih sudah berkunjung. J



BACA JUGA :

Pantai Nyangnyang : KetikaMentari Kembali ke Peraduannya

ONE DAY TOUR : ALING-ALING,KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR

EKSOTISME LOKASI SYUTING FILMEAT PRAY LOVE, PANTAI PADANG-PADANG

TERHEMPAS OMBAK TERBAKAR MATAHARI DI PANTAI DREAMLAND

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Suasana Pantai, foto oleh Penulis

Nyanyi lagu pantai nyanyi lagu santai
Nyanyi lagu pantai mari santai


Lirik lagu dari sebuah grup musik bergenre reggae ini memang enak di dengar, apalagi dihayati liriknya ketika sedang berada di pantai. 
Setelah puas menyusuri tiga pantai seharian (Melasti, Dreamland, dan Padangpadang), kami masih punya satu utang pantai yang harus kami jelajahi. ya, pantai Nyangnyang menjadi pantai terakhir dalam list perjalanan kami hari itu.
Suasana pantai 2, foto oleh Penulis

Sebenarnya sudah sejak lama saya bernafsu untuk mengunjungi pantai ini, namun karena tidak ada kawan dan waktu untuk mengunjunginya akhirnya saya hanya bisa mengubur keinginan itu. Saya bersyukur karena sepupu saya datang dan tujuannya hanya untuk mengunjungi pantai-pantai tersembunyi di Bali. Yeahhh akhirnya saya ke pantai ini.
Jalur treking menuju pantai, foto oleh Penulis

Pantai ini belum terkelola dengan baik. Mungkin karena akses menuju ke sana yang tergolong sulit. Untuk menuju ke pantai ini, kami harus melakukan trekking menurun selama _+20 menit. Di beberapa titik sepanjang perjalanan menuju pantai kami menemukan beberapa warung semi permanen. Ada yang menjajakan oleh-oleh khas khas bali, ada juga yang menjajakan makanan dan minuman. Kami berhenti di salah satu warung yang menjajakan kelapa muda dan beberapa jenis minuman lainnya. Disini kami mengobrol panjang lebar dengan sang ibu pemilik warung. Mengenai isi obrolan ini akan saya uraikan di bagian terakhir tulisan ini.
Foto bersama Ibu Pemilik warung, foto oleh Lisye

Setelah kurang lebih 15 menit mengobrol, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju bibir pantai. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan beberapa ekor monyet yang sedang bercengkrama di atas pohon gamal, sambil berlompatan dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Ada juga yang memadu kasih. Ahh indahnya, trus saya kapan? (kannnn, malah curhat;)).Tak perlu takut dengan monyet-monyet ini karena mereka tidak berniat mengganggu pengunjung. 
Di salah satu ruas jalan juga terpampang tulisan di atas papan kayu yang mengisyaratkan pengunjung untuk mengikuti batu putih, yang sengaja diletakkan penduduk setempat untuk memudahkan pengunjung menuju lokasi (karena ada banyak persimpangan menuju ke tempat ini). Setelah bersusah payah sepanjang perjalanan, kamipun tiba di lokasi. Suasananya masih benar-benar asri. Di sana kami menyapa dua orang ibu pemilik satu-satunya warung di bibir pantai yang sedang membersihkan bulu babi (sejenis binatang laut yang memiliki duri tajam di cangkangnya). Obrolan kami terputus oleh seorang wisatawan asing yang mau membeli minuman di warung sang ibu. 
Bulu babi, foto oleh Penulis
Okay, dari warung sang ibu kami bertolak menuju arah utara untuk menikmati lembutnya pasirnya serta dinginnya angin yang bertiup di sore itu. Tak lupa kami menanggalkan alas kaki kami biar bisa bersentuhan langsung dengan alam. Sejauh mata memandang terhampar birunya laut dan dan coklatnya pasir khas pantai Pulau Dewata. Sesekali tampak beberapa orang yang melakukan aktivitas paragliding, juga burung-burung pantai yang terbang dengan indahnya menikmati kebebasan. Sungguh perpaduan yang indah. 
Aktivitas Paragliding tampak jauh, foto oleh penulis.

Aktivitas Paragliding tampak dekat (setelah dizoom), foto oleh Penulis
Ketika Sang penguasa udara mengepakkan sayapnya, foto oleh Penulis

Pantai ini memiliki garis pantai yang panjang, akan tetapi hanya terlihat kurang dari sepuluh orang wisatawan yang berseliweran di sini dari awal datang hingga kami pulang. Benar-benar berasa pantai pribadi. 
Suasana pantai 3, foto oleh Penulis

Suasana pantai 3, foto oleh Lisye

Oh ya, di pantai ini terdapat rumah-rumah bola yang khusus disewakan oleh salah satu resort yang ada di area dekat parkiran untuk tamu istimewanya. Menurut ibu-ibu yang kami ajak ngobrol sebelumnya (tempat persinggahan pertama), rumah-rumah bola ini disewakan dengan harga sewa 1,5 juta per malam. "Bule-bulenya tidak suka dengan kebisingan" imbuhnya. Hanya ada 6 rumah bola di bibir pantai itu, 4 di sisi utara dan 2 di sisi selatan. Semua kebutuhan penyewa rumah bola dipenuhi oleh pegawai resort, bahkan makanannya pun diantar dengan berjalan kaki oleh pegawai resort. Kebetulan kami mengunjungi tempat itu pada hari selasa jadi hanya dua rumah bola yang mendapatkan tamu, sedangkan menurut si ibu, pada hari sabtu dan minggu banyak yang menyewa dan berkunjung ke tempat itu, bahkan ada pula yang mendirikan tenda sendiri dan bermalam di sana. Dalam hati saya berkata "suatu saat harus kesini lagi dan harus camping. Amin. Setelah mengambil beberapa foto dengan si ibu kami pun melanjutkan obrolan. Menurut si ibu, pedagang yang berjualan di sana semuanya merupakan warga lokal.
Rumah Bola, foto oleh Penulis

Di saat matahari mulai beranjak turun kami bertemu dengan beberapa nelayan yang baru pulang berlayar. Kami kemudian meminta salah satu pemuda untuk mengambil foto kami, karena kebetulan hanya pergi berdua ke sana. Dari empat kali jepretan, hanya dua foto yang jadi, tetapi satu fotonya malah dizoom. Yaaahhh adek sedih, tetapi tak mengapa karena rasa sedih tersebut dibayar dengan indahnya matahari terbenam sore itu. Sungguh matahari terbenam terindah yang pernah saya temui. Terimakasih untuk ciptaanmu yang ini indah ini. 
Hasil foto si Pemuda

Setelah matahari jingga sempurna kembali ke peraduannya, kami pun harus kembali ke parkiran untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Denpasar. Ingin rasanya melipat jarak biar segera sampai ke parkiran, tetapi apa daya itu hanya akan terjadi atas kuasa Tuhan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya pada pukul 18.30 tibalah kami di parkiran motor. Mau membilas badan dan mengganti baju akibat seharian berendam di tiga pantai, eh malah airnya lagi mati/tidak mengalir. Akhirnya kami memutuskan untuk basah-basahan sampai tiba di Denpasar. Sungguh malang nasibku. Seakan dewi fortuna berpaling dari kami, ketika mencari kunci motor, eh kunci motornya malah kabur. Kami terpaksa menghabiskan waktu sekitar 10 menitan hanya untuk mencari kunci motor. Syukur Ada ibu-ibu yang nyamperin kami karena melihat kami kebingungan. Ternyata kunci motor kami tertinggal ketika kami terburu-buru menuju pantai. Ya Tuhan, syukur ini di Bali, kalau di tempat lain wassalam deh.
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 1, foto oleh Penulis

Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 2, foto oleh Lisye 
Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 3, foto oleh Lisye 



Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 4, foto oleh Lisye 

Ketika Mentari perlahan meninggalkan langit 5, foto oleh Lisye 

BACA JUGA :

GREENBOWL : PANTAI TERSEMBUNYI DI SISI SELATAN PULAU DEWATA

PESONA MATAHARI TERBENAM DAN CAFE TEPI TEBING DI PANTAI SULUBAN

ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR



JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR
Teman perjalanan saya (kiri ke kanan : K,Sarah, Saya, Ulfa, Noni), foto oleh Bli Gede


Berangkat dari rasa penasaran, muncullah niat untuk berkunjung ke tempat ini.

Dua hari yang lalu saya melihat sebuah postingan di insta story milik akun seorang traveller ketjeh, nama akunnya @nengahnemo. Saya kemudian mengirim pesan untuk menanyakan lokasi yang menjadi latar pengambilan fotonya. Untunglah si abang #ehhh berbaik hati memberikan informasi mengenai tempat ini (makasih ya Bang;)). 
Mari melompat, foto oleh Ulfa


Kebetulan kemarin juga ada teman kos saya selama di Jogja sedang berlibur ke Bali dan minta diantar ke Pura Ulundanu, Bedugul (tulisan mengenai pura ini akan diulas di artikel berikutnya). Oleh karena jarak tempuh yang lumayan cepat (_+1 jam) antara Bedugul dan Kota Singaraja, juga (_+15 menit) antara Kota Singaraja dan air terjun ini, bertolaklah kami, empat orang perempuan pagi itu dari Kota Denpasar. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5,5 jam dari Denpasar (karena masih singgah di Pura Ulundanu, Pucak, dan makan duren di Pinggir jalan menuju Kota Singaraja) dan dilimpahi air hujan di sepanjang perjalanan, kami akhirnya tiba di TKP. 
Mari main perosotan, video oleh Ulfa

Awalnya kami sempat shock karena melihat harga yang terlampir di daftar harga dirasa begitu mahal. 125 ribu rupiah untuk short trekking dengan  durasi waktu dua jam untuk empat lokasi air terjun, medium trekking (lupa rinciannya) serta 350 ribu rupiah untuk long trekking dengan durasi waktu enam jam untuk tujuh lokasi air terjun. Setelah mendengar penjelasan dari petugas, kami akhirnya paham bahwa harga yang tertera di sana sebanding dengan rasa lelah serta risiko yang ditanggung oleh pemandu lokal yang menemani kami apabila kami ingin melakukan aktivitas-aktivitas anti mainstream di sana. Petugas tersebut juga memberikan informasi bahwa apabila kami hanya sekedar berfoto, kami hanya membayar 10 ribu (tanpa berenang, tanpa menyentuh air melewati lutut dan apabila kedapatan melanggar akan dikenakan denda dua kali lipat dari harga normal). Dikarenakan kondisi keuangan yang sedang tidak bersahabat juga cuaca yang kurang mendukung, kami memilih untuk membayar sepuluh ribu untuk mengunjungi air terjun pucuk, kembar, kroya, dan aling-aling. Petugas memberikan dua pilihan kepada kami, mau memarkir motor di parkiran dekat loket tiket dengan biaya gratis dengan risiko jarak trekking semakin jauh atau memarkirnya di tempat yang sedikit dekat ke lokasi air terjun dengan biaya dua ribu rupiah, dan kami memilih pilihan kedua. 
Captionnya keren, foto oleh Noni

Setelah kendaraan terparkir rapi, kami bergegas menuju air terjun. Perjalanan menuju tiga lokasi pertama (kroya, pucuk, dan kembar) memakan waktu  _+15 menit. Sesampainya di lokasi, kami beristirahat sejenak dan mengambil beberapa gambar. 
Noni di air terjun mini tak bernama di sepanjang jalan menuju air terjun aling-aling

Walaupun tadinya hujan, airnya tetap jernih (tidak coklat) dan riak-riaknya seakan mengajak kami untuk bercumbu dengannya. Selang beberapa waktu setelah kami mengambil gambar, datanglah empat orang bule cakep (eh salah fokus lagi). Mereka melompat dan bermain perosotan. Tampaknya mereka sangat menikmati permainan itu dan kami akhirnya tergoda untuk mencobanya (nah loh?). Ada dua orang pemandu yang menemani keempat bule ini. Kami lalu bertanya ke salah satu pemandu yang sedang duduk tentang cara mendapatkan tiketnya (karena tempat penjualan tiketnya jauh). Oleh karena dewi keberuntungan sedang berpihak kepada kami, kami akhirnya bisa melakukan aktivitas-aktivtas tersebut dengan menambah seratus lima belas ribu rupiah per orang. 
Ulfa di air terjun aling-aling

Uji adrenalin dimulai. YEAHHH.
Aktivitas pertama yang akan kami lakukana adalah melompat dari ketinggian lima meter dengan kedalaman tak terhingga. Mau tahu rasanya? Hmmm tidak bisa terdeskripsikah deh. Pokoknya horor sekali.
Air terjun kembar, foto oleh Bli Gede

Setelah diselimuti keraguan selama _+3 menit baru saya memberanikan diri untuk bercumbu dengan air terjun berlaguna ini. Bukannya kapok, saya malah ketagihan untuk melompat lagi dan lagi sampai tiga kali. Sensasinya memang luar biasa.
Setelah itu kami diarahkan untuk menuju bagian atas air terjun untuk melakukan aktivitas lainnya, yakni perosotan. Tidak degdegan saat berada dipuncaknya tetapi ketika dilepas oleh sang pemandu dan melucur ke bawah dan juga ditekan oleh derasnya air terjun, saya merasa diri saya seakan tertelan oleh ganasnya air terjun ini. Sangat horor dan saya tidak mau mencobanya lagi di tempat yang sama walaupun ditawarkan oleh sang pemandu. 
Puncak air terjun kembar, foto oleh Ulfa

Dari air terjun Kroya, kami menuju air terjun berikutnya, air terjun tak bernama (mungkin anak Kroya) untuk berperosotan lagi. Saya berani berperosotan disini karena air terjunnya tidak begitu tinggi. Setelah itu saya mencoba melompat dari batu di air terjun yang sama setinggi dua meter. Sekedar informasi, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, semua aktivitas disini dilakukan harus dengan bantuan pemandu lokal karena sangat berbahaya apabila dilakukan sendirian. Ada titik-titik tertentu yang tidak boleh dilompati karena terdapat batu-batu tajam, sehingga sebelum melompat kami sudah diarahkan untuk melompat ke arah mana saja dan harus sesuai dengan teknik yang diajarkan oleh pemandu disini. Salah melompat bisa menyebabkan cedera, bahkan kematian. 

Full team, foto oleh Bli Gede
Dari anak Kroya, saya menuju air terjun kembar, ditemani sang pemandu. Kawan perjalanan saya menunggu di anak Kroya. Saya tidak berani melompat disini karena ketinggiannya mencapai 10 meter. Baru melihat dari puncaknya saja saya sudah bergidik ngeri. Saya hanya berenang dan berendam di sana dan saya jatuh cinta dengan kesegaran air terjun ini. Saya betah berlama-berlama disini tetapi karena waktu yang sangat mepet, saya akhirnya kembali ke atas, untuk kemudian menuju ke air terjun aling-aling selama _+10 menit, lalu kembali ke parkiran dan menuju Denpasar.

Air terjun Aling-aling

Selama perjalanan kembali ke parkiran saya dan kawan-kawan mewawancarai Bli Gede, pemandu kami mengenai beberapa hal tentang daya tarik ini. Menurut penuturan Bli Gede, sangat berbahaya melakukan aktivitas air disini tanpa bantuan Pemandu lokal. Lanjutnya, pernah ada kejadian orang meninggal di sini empat tahun lalu karena melakukannya tanpa bantuan pemandu lokal. Biaya karcis yang dikenakan kepada pengunjung, 60% menjadi hak pengelola, sedangkan 40% masuk ke kantong pemandu lokal. Pembagian yang adil, bukan?

Baca juga :

EKSOTISME LOKASI SYUTING FILM EAT PRAY LOVE, PANTAI PADANG-PADANG

TERHEMPAS OMBAK TERBAKAR MATAHARI DI PANTAI DREAMLAND

PESONA MATAHARI TERBENAM DAN CAFE TEPI TEBING DI PANTAI SULUBAN

GREENBOWL : PANTAI TERSEMBUNYI DI SISI SELATAN PULAU DEWATA





Share
Tweet
Pin
Share
4 comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me


Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit consequat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amet nibh vulputate.

Follow Us

Labels

air asia air terjun always be my maybe angkutan umum asiatique australia bajra sandhi bali bangkok bts budaya budaya bali bus cafe tepi tebing catatan perjalanan catatan sore CBET CBT denpasar ekowisata Ende-Lio film flores gianyar Glur Hostel Gold Coast griffith university Gunung Gunung Api Gunung Api Purba gunung kidul hostel hua hin instagramable kebun raya kuliah lapangan kuliner Long Distance Relationship love story makanan matahari terbenam maybe moda transportasi museum museum 3D negeri seribu pagoda ngglanggeran NTT nusa dua olahraga pak chong pantai pasir putih payangan perjalanan wisata pork ribs thailand review rice terrace river boat river hoping sate babi singaraja subak sunset taman kota tegalalang teman baru thailand thailand trip travel journal travel literature ubud vokasi pariwisata waerebo wisata wisata alam Yogyakarta

recent posts

Blog Archive

  • ►  2020 (5)
    • ►  July (5)
  • ►  2019 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
  • ▼  2017 (21)
    • ►  December (6)
    • ▼  November (3)
      • Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestas...
      • Pantai Nyangnyang : Ketika Mentari Kembali ke Pera...
      • ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR
    • ►  October (5)
    • ►  September (7)

Popular Posts

  • ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR
    ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR Teman perjalanan saya (kiri ke kanan : K,Sarah, Saya, Ulfa, Noni), foto oleh Bli G...
  • MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI
    Upacara pemberkatan kerbau secara adat untuk kemudian disembelih, foto oleh penulis Hari Sabtu 24 Juni 2017 merupakan hari berse...
  • Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestasi Budaya Bali
    Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis. Without agriculture tourism is nothing Itulah sepenggal kalimat yang keluar dari...

Blogger templates

Blogroll

About

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Distributed By Protemplateslab & Created with by BeautyTemplates