JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI

by - September 03, 2017

JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI

Jatiluwih!  Sebuah nama yang asing bagi saya. Setelah berdinamika dalam kelas perkuliahan matrikulasi barulah saya mendengar penjelasan dari beberapa dosen mengenai Jatiluwih itu sendiri. Pada hari terakhir matrikulasi, tepatnya pada hari Jumat, 12 Agustus 2016 kami mahasiswa baru dari program studi Magister Kajian Pariwisata (MKP) diberikan kesempatan untuk mengunjungi sistem subak yang berlokasi di Jatiluwih yang telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai World Cultural Heritage/Warisan Budaya Dunia (WBD) sekaligus berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) setempat.
Walaupun sudah melihat gambar subak di internet maupun di power point pada materi yang disajikan oleh beberapa dosen dalam perkuliahan matrikulasi, saya sangat penasaran dengan bentuk dan rupa nyata dari sistem subak di desa tersebut. Semalam sebelum jadwal keberangkatan ke DTW tersebut saya sudah menyetel alarm untuk keesokan harinya agar bisa bangun pada pukul 05:20 WITA, tetapi ternyata saya tidak bisa bangun di waktu yang sudah saya rencanakan sebelumnya karena tidur yang sangat lelap. Akhirnya saya tersadar dan bangun pada pukul 05:50 WITA. Saya pun sempat panik, khawatir akan terlambat karena saya sudah berjanji akan menjemput salah seorang teman sekelas saya (kebetulan berdekatan kos). Akhirnya saya memanfaatkan waktu yang sangat minim itu sebaik mungkin untuk bersiap-siap lalu buru-buru menjemput teman dan berangkat ke kampus, meeting point kami, untuk kemudian sama-sama berangkat ke Jatiluwih. Untungnya kami tidak terjebak macet dan tiba di kampus pukul 06:45 WITA, lebih cepat dari waktu yang ditetapkan yakni pukul 07:00 WITA.
Setibanya di kampus kami sempat ngobrol dengan beberapa teman dan beberapa saat kemudian kami diberitahu bahwa  kami terbagi ke dalam dua kelompok bis yang didasarkan pada nomor induk mahasiswa kami. Saya sendiri menempati bis nomor satu dengan sembilan belas teman lainnya dan Pak Darma Putra. Perjalanan kami pun dimulai. Sepanjang perjalanan saya menikmati pemandangan di kiri dan kanan jalan. Luar biasa indah dan kaya tanah bali ini. Saya pun berbicara dengan di samping saya mengenai keindahan arsitektur bangunan rumah penduduk di sepanjang perjalanan juga mengenai kemakmuran dan ketersediaan beberapa toko, bengkel besar, minimarket yang ada di desa-desa di sepanjang perjalanan kami. Di tempat saya, Flores, kalau yang namanya Desa, bahkan Kecamatan sangat sulit untuk menemukan minimarket, toko, ataupun bengkel besar.
Setelah menempuh kira-kira dua jam perjalanan kami pun tiba di DTW Jatiluwih. Sebelum memasuki loket retribusi kami sudah disuguhkan oleh pemandangan yang sangat unik dan indah.
Gambar 1. Pemandangan subak sepanjang perjalanan diambil dari kaca bis


Bis pun menurunkan kami di depan sebuah restoran yang ada di daerah tersebut. Beberapa mahasiswa termasuk saya yang tidak bisa menolak panggilan alam langsung mencari tempat yang paling istimewa untuk menyetor bensin. Setelah beberapa dari kami menjawab panggilan alam, kami pun di arahkan untuk menuju ke depan monumen WBD  dari UNESCO untuk bertemu dengan bapak I Wayan Suka, selaku pemandu wisata lokal untuk selanjutnya melakukan trekking. Pak I Wayan Suka menawarkan tiga alternatif trekking yakni short, middle dan long trekking dan kami sepakat untuk memilih middle trekking dengan lama tempuh kurang lebih satu jam. 
Gambar 2. Aliran air tembuku dan
tanya jawab antara teman dari
MKP dan Bapak I Wayan Suka.
Perjalanan kami menyusuri Subak Jatiluwih pun dimulai. Sepanjang perjalanan beberapa teman melemparkan beberapa pertanyaan kepada bapak I Wayan Suka, yang direspon dengan jawaban yang cukup memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan umumnya seputar subak itu sendiri, subak sebagai Warisan Budaya Dunia, sistem pengelolaan subak, dan banyak pertanyaan lainnya dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dari sekian banyak pertanyaan kira-kira yang menjadi intinya adalah sistem subak ini sudah ada sejak jaman dahulu, dimana sistem tersebut tercipta karena kondisi geografis Desa Jatiluwih dan beberapa daerah sekitarnya yang miring sehingga sangat sulit bagi petani setempat untuk membuat sawah seperti umumnya sawah di tempat lain. Sawah tersebut kemudian dikelola dengan sistem aliran air yang bernama tembuku. Sekilas tembuku terlihat seperti drainase yang terdapat di kota, tetapi dalam drainase tersebut terdapat cabang-cabang, dimana di cabang-cabang tersebut ukuran drainasenya bervariasi, yang menurut pak I Wayan Suka ukuran tersebut menunjukkan besarnya sawah, yang berimbas pada besarnya sumbangan yang diberikan oleh pemilik sawah kepada pengelola subak. 
Oleh karena keunikan tersebut, subak kemudian diusul oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk  menjadi WBD kepada UNESCO, tetapi baru diakui oleh UNESCO pada tahun 2012. Sejak diakui UNESCO kunjungan wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara melonjak drastis. Tercatat tahun 2014 jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai angka 165.144 dengan pendapatan sebesar Rp 2,915 milyar. Menurut penuturan pak I Wayan Suka sawah-sawah yang ada di subak Jatiluwih bisa dijual tetapi tidak boleh dibangun bangunan apapun.
Gambar 3. Monumen Subak
Jatiluwih sebagai WBD.
Setelah beberapa sesi tanya jawab di aliran temuku, perjalanan dilanjutkan. Ditengah perjalanan, rute trekking akhirnya diubah karena pada jam 11 para Mahasiswa dan Dosen harus berkumpul di Kantor Desa untuk berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola DTW setempat. Rute baru tersebut sangatlah ekstrim untuk sebagian besar teman tetapi tidak bagi saya (karena saya adalah anak kampung yang sering melewati rute-rute seperti itu, bahkan lebih ekstrim lagi). Ada beberapa teman yang terjatuh, yang tercebur ke dalam selokan sepanjang melintasi areal persawahan, ada pula yang tersesat, sehingga dalam diskusi dengan aparat desa dan pengelola DTW salah seorang teman dari MKP dalam nada bercanda menambahan bahwa bukan hanya tiga kategori trekking di Subak Jatiluwih, tetapi ada empat yakni long, middle, short dan lost trekking.



Gambar 4. Salah seorang teman
yang terjatuh saat melewati subak.
Selesai melewati perjalanan sawah kami pun beranjak ke kantor kepala desa. Kami dikumpulkan di sebuah aula mini untuk berdiskusi. Banyak hal yang kami dapatkan sepanjang diskusi aktif berlangsung. Pertanyaan inti menurut saya yang dilontarkan oleh mahasiswa alasan mengapa tidak diberinama WBD tetapi Daerah Tujuan Wisata, padahal nama Jatiluwih sendiri mulai tersohor karena ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO adalah karena belum dibentuknya Badan Pengelolah Daerah Tujuan Wisata oleh Pemerintah Daerah Tabanan, padahal pemerintah Desa setempat sudah menyerukan pembentukan badan tersebut sejak lama. Diskusi pun ditutup dengan penyampaian kesan oleh mahasiswa MKP yang dilanjutkan dengan makan siang. Setelah makan siang kami beranjak menuju ke depan untuk berfoto bersama lalu naik ke bis masing-masing untuk kembali ke kota Denpasar.
Gambar 5. Foto bersama seusai berdiskusi di aula Kantor Desa

You May Also Like

0 comments