Laman

  • Beranda
  • halo, I am an amateur blogger
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

Search This Blog

Powered by Blogger.

Report Abuse

About me

Novi Tani
View my complete profile
  • Beranda

Mengenai saya

Novi Tani
View my complete profile

Perjuangan Menuju Supermarket di Sunshine Coast, Queensland

Selama bulan September sampai dengan Oktober 2019, saya dan 24 teman lain dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur memperoleh kesempatan ...

  • Beranda

Pariwisata, kebudayaan, dan perjalanan wisata

facebook google twitter tumblr instagram linkedin

Selama bulan September sampai dengan Oktober 2019, saya dan 24 teman lain dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan singkat (short course) dengan tema Sustainable Tourism and Hospitality di Griffith University Australia. Kesempatan berharga ini kami sambut dengan penuh sukacita. Cerita lengkapnya ada pada tulisan blog saya tahun kemarin, bisa diakses di sini. 
Pada satu kesempatan, kami berkunjung ke salah satu distrik di negara bagian Queensland. Sunshine Coast namanya. Tiga hari kami habiskan akhir pekan dengan menikmati alam serta fasilitas yang ada di Glen Eden Resort, sebuah resort by the beach yang telah disiapkan. Suasana berbeda tentu dirasakan di sana. Berpindah dari Gold Coast yang penuh dengan gedung pencakar langit dan sedikit ramai, kami menuju Brisbane yang penuh dengan hiruk-pikuk khas perkotaan, kemudian terpental ke Sunshine coast dengan suasana pedesaan yang sangat asri dan sepi. 
Saya punya cerita lucu sekaligus menegangkan di kota ini. Setibanya di resort tempat kami nginap, kami sibuk menikmati suasana dan fasilitas dalam resort tersebut. Sebagian sibuk mengamati isi dapur, belajar mengoperasikan peralatan dan perlengkapan di sana. Ada pula yang rebahan sambil menikmati pemandangan indah di depan kamar. Sisanya berendam dan berenang di kolam resort. Nikmat. Itu yang dirasakan. 
Sangking nikmatnya suasana, saya dan Yabu Elan ketinggalan rombongan yang sore itu berencana bersama-sama berbelanja kebutuhan dapur untuk tiga hari ke depan di satu-satunya supermarket terdekat di kota itu. Tempat itu kira-kira 5 km jaraknya dari tempat tinggal kami. Berbekal informasi yang kami peroleh dari si Mbak pemilik resort, kira-kira pukul 18.00 sore itu, kami meninggalkan resort menuju jalanan. Dengan penuh kepercayaan diri, kami lebih memilih jalan kaki dibandingkan bis umum, satu-satunya moda tranportasi di kota ini. Pilihan kami bukan tidak berdasar. Sebelum berangkat kami sudah berkonsultasi dengan pemilik resort dan kata mereka “dekat” (dekat menurut bule. Hmm). 
Kami merasa salah arah setelah berjalan beberapa kilometer. Kali ini kami berusaha mempercayai aplikasi penunjuk arah yang ada di ponsel tetapi hasilnya nihil. Mau bertanya ke orang lokal, tetapi tidak ada satu pun orang lokal yang kami temui. Padahal deretan rumah berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Kami pun mulai bertanya-tanya dimana semua orang. Setelah bolak-balik di jalan yang sama kira-kira tiga kali, kami akhirnya bisa menarik napas lega ketika melihat sebuah mobil dari arah berlawanan mendekat. Kami pun mempersiapkan diri dengan baik dan berdiri persis di badan jalan raya dan melambaikan tangan ke jalan, tanda memberhentikan mobil yang lewat khas orang Indonesia. Sayangnya dewi fortuna tidak berada di pihak kami saat itu. Kami tidak dihiraukan oleh orang yang mengemudikan mobil tersebut. 
Dengan berat hati kami mulai melangkah kembali. Beberapa meter berjalan, kami akhirnya bertemu seorang lelaki baik hati yang sedang memperbaiki sesuatu di depan rumahnya. Si tampan memberikan arah dan akhirnya kami mulai melangkah dengan percaya diri sesuai arah yang diberikan. Arah yang ditunjuk sepertinya meragukan karena harus melewati jalan tikus (kecil) yang sangat sepi. Kami pun akhirnya memasuki sebuah lembah saat matahari kembali ke peraduannya. Bayangkan, keadaan begitu sepi, di sebuah lembah dan kegelapan sudah menyambut dan dua orang gadis yang masih awam dengan keadaan sekeliling. Lewat dari lembah, kami akhirnya menemukan jalan raya. Lega rasanya.
Rupanya kami terlalu cepat menarik napas lega, karena setelah itu kami melewati sebuah trotoar yang dipisahkan hutan dari jalan raya. Saat itu keadaan sudah sangat gelap. Sekitar satu kilometer panjang trotoar tersebut, tanpa lampu yang menerangi. Suara berbagai macam hewan mewarnai perjalanan kami sepanjang trotoar tersebut. Saat itu hanya kami berdua yang melintasi sisi trotoar tersebut. Rasa takut, cemas, dan tegang bercampur jadi satu. Masing-masing hanya berdiam diri dengan pikiran yang berkecamuk, tanpa berani melontarkan sepatah kata pun. Sampai pada satu titik, saat ketakutan sudah mencapai puncak, kami saling melemparkan tatapan. Melihat ketakutan yang terpancar pada mata satu sama lain, tanpa aba-aba, kami pun berlari sekencang-kencangnya sampai tampak jalan raya di hadapan. Perjalanan dilanjutkan sampai akhirnya tiba di tempat tujuan. Trauma dengan pengalaman perjalanan pergi, kami memutuskan untuk menggunakan jasa transportasi umum sepulang dari tempat tersebut. Tabe.
Salah satu sudut yang membuat saya terlena.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sumber : https://amyunus.com/2018/07/14/yuk-nabung-saham/

Mengapa orang kaya semakin kaya dan orang miskin kebanyakan tetap miskin? Jawabannya ada pada kebiasaan investasi. Belajarnya dimana? Dimana saja, salah satunya lewat media sosial.

Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, dalam wawancara ekslusif dengan Najwa Shihab pernah mengatakan bahwa media sosial itu seperti pisau. Orang bijak akan menggunakannya untuk mengukir sesuatu yang memiliki nilai seni yang tinggi, tetapi orang yang tidak bijak akan menggunakannya untuk membunuh orang lain.

Saya bersyukur dengan hadirnya media sosial. Banyak hal negatif yang ditimbulkan oleh kehadirannya, tetapi lebih banyak lagi hal positif bisa diperoleh darinya. Seperti biasa, media sosial menyebabkan ketergantungan akut bagi penggunanya. Ia bisa menjadi kandidat distraksi paling kuat di sela-sela jam kerja di antara segala yang tampak dan tidak tampak di muka bumi ini. Bisa jadi seharian sesorang hanya memperhatikan dan menggunakan gawai untuk scrolling dan melihat updatan status terbaru dari orang-orang yang ia kagumi, kawan-kawannya, bahkan orang yang paling dijengkelinya sekalipun.

Sisi positifnya, banyak hal baru yang diketahui dengan mengamati media sosial. Saya pribadi merasa media sosial membawa banyak keuntungan bagi diri saya, di samping kerugian yang sudah saya paparkan di paragraf sebelumnya. Saya menemukan begitu banyak orang-orang inspiratif yang saya jadikan panutan dalam melakukan beberapa hal yang menurut saya positif. Saya juga belajar banyak ilmu baru yang kemudian saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya juga menemukan informasi-informasi mengenai berbagai macam kegiatan dan beasiswa dari platform tersebut. Tersedia juga berbagai macam tips dan trick untuk memudahkan segala pekerjaan.

Dengan siapa kita berteman serta halaman mana yang kita ikuti (khusus pengguna facebook) berdampak pada positif atau negatifnya pengaruh yang ditimbulkan oleh media sosial tersebut.

Pada suatu kesempatan saat berbincang dengan seorang teman lama dari jaman SMA, saya memperoleh satu pemahaman bahwa investasi emas penting dilakukan mulai dari masa muda. Kebetulan teman tersebut bekerja pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melayani tabungan produk emas tersebut.

Saya tertarik dengan segala hal tentang investasi emas yang dijelaskan oleh teman tersebut. Beberapa hari kemudian, saya mulai berselancar di dunia maya dan bergabung dengan salah satu grup facebook yang banyak memberikan informasi seputar investasi emas. Beberapa informasi fundamental saya peroleh dari sana. Tidak puas dengan apa yang disajikan di sana, saya melakukan riset mendalam di platform media sosial lain, yakni youtube.

Beberapa jam bahkan hari saya habiskan untuk memahami keuntungan dan kerugian dari investasi ini. Beberapa sumber mengatakan bahwa menabung emas bukan investasi, tetapi hanya menyelamatkan nilai uang dari inflasi.

Inflasi adalah kemerosotan nilai uang karena kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan berkesinambungan. Rata-rata inflasi di Indonesia adalah 3-4% pertahun. Bayangkan jika ditabung dalam bentuk fisik uang. Tiga atau empat tahun kemudian saat uang tersebut dibelanjakan, nilainya tidak sama lagi dengan saat ia ditabung di awal. Dengan jumlah uang yang sama, barang/jasa yang dibelanjakan akan lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya. Nah untuk menyelamatkan diri dari hal tersebut, banyak orang memilih untuk menabung emas. Bahkan sekarang sudah tersedia emas mini yang bisa dibawa pulang dengan modal 70 ribuan. Menarik bukan?

Ada satu narasumber dari berbagai sumber video yang ditonton, yang juga menjelaskan tentang instrumen investasi lain di pasar modal. Di sana ada obligasi (surat hutang), peer to peer lending (P2P), deposito, reksadana, serta saham. Pembaca budiman dapat mencari tahu informasi tentang jenis-jenis investasi tersebut di youtube, google, atau kalau mau yang lebih valid, bisa membeli bukunya. Dari berbagai sumber yang saya pelajari, satu hal penting yang perlu digarisbawahi adalah banyak orang kaya yang menjadi kaya dengan investasi saham di pasar modal. Waren Buffet salah satu contohnya. Oleh karena itu saya juga tertarik dengan dunia saham dan mengikuti beberapa akun untuk mempelajari seluk-beluk dunia saham, salah duanya yang cocok dan sering saya kunjungi adalah @feliciaputritjiasaka dan @ngertisaham di instagram.

Saat ini saya masih dalam proses untuk memulai investasi tersebut karena terkendala beberapa hal. “Yang penting tahu dulu” pikir saya. Oh iya, dengan berinvestasi kita juga berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara dengan memajukan pasar modal Indonesia. 

Jadi, jangan berkoar-koar di media sosial untuk memblokir investor asing jika kita sendiri saja belum melakukan investasi. Mungkin ada di antara pembaca budiman yang berpikir “wah kalau mau investasi kan harus mengeluarkan rupiah dengan nilai yang cukup tinggi. Lah kelebihan gaji saya palingan 300 ribu rupiah per bulan, bagaimana dong?”. Eits tunggu dulu, ada loh perusahaan yang menjual per lembar saham dengan harga ratusan rupiah, bahkan ada yang lebih kecil dari nilai tersebut). Mari berinvestasi, mari membangun negeri.

FYI, apabila ada di antara pembaca budiman yang mau membantu negara untuk membayar utang luar negeri, kalian bisa membantu dengan cara membeli surat utang (obligasi) yang dikeluarkan oleh DJPPR Kementrian Keuangan. Untuk info lebih lanjut bisa dicek di akun resmi intagram @djppr kemenkeu.


Share
Tweet
Pin
Share
1 comments



Masih menjadi misteri mengapa harga jual produk pertanian lokal menjadi lebih murah di kota dibandingkan di desa asalnya.

Kemarin sepanjang perjalanan dari perbatasan Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai hingga mendekati Kota Ruteng kami disuguhi pemandangan buah-buahan yang terpajang di sepanjang lapak para pedagang. Pada musim ini (kurang lebih 3 bulan terakhir), jeruk yang menjadi primadona.

Ada yang menjajakannya langsung dipinggir jalan hanya bermodalkan piring sebagai tatakannya dan kursi sebagai tempat untuk memajang buah dagangannya, sampai ada juga yang rela membangun lapak semi permanen dari bambu, lengkap dengan atap dan tempat duduk bagi pedagangnya. Menarik untuk dilihat, terutama apabila yang melakukan perjalanan merupakan orang dari luar NTT atau luar Indonesia.

Seperti biasa jeruk selalu mencuri perhatian saya (seperti yang sudah saya uraikan di tulisan saya sebelumnya). “Kalau sudah liat jeruk, bawaannya pengen beli saja”, orang Ende bilang. Hahaha.

Melihat banyaknya jeruk-jeruk yang teratur rapi bak pagar betis ini, naluri pecinta buah-buahan saya bergelora. Saya pun meminta abang untuk berhenti dengan niat untuk membeli barang satu atau dua kumpul jeruk sebagai bekal perjalanan. Dalam hati saya sudah membayangkan pasti harganya murah, toh mereka tidak perlu merogoh kocek untuk biaya angkutan ke kota.

Ternyata dugaan saya salah saudara-saudara. Harganya sangat mahal, jauh lebih mahal dari yang dijajakan di pasar Waesambi, Kota Labuan Bajo. Kenapa bisa begitu? Kalau ada yang tahu alasannya mungkin bisa memberikan jawaban di kolom komentar di bawah ya.

Saya teringat kembali pada perbincangan antara saya dan Bapak Saya beberapa belas tahun lalu terkait hal ini (sayangnya saya tidak pernah punya niat untuk mencari tahunya waktu itu). Setiap pulang ke Wanes (kampung saya) atau kembali ke Kota Ende (sebuah kota Kabupaten di Pulau Flores, NTT), biasanya angkutan umum yang membawa kami akan berhenti di Nduaria (sebuah pasar tradisional, tidak jauh dari Danau Kelimutu). Di sana berjejer rapi aneka buah-buahan dan sayur-sayuran segar yang memanjakan mata, juga jenis makanan lain seperti telur rebus, jagung rebus dan lain-lain.

Mulanya saya mengira harganya akan jauh lebih murah karena sebelum memasuki kawasan pasar tradisional dan setelah melewati kawasan tersebut, pohon-pohon jeruk yang memamerkan kuning ranum buah yang dihasilkannya, menjulang tinggi dengan buah yang hampir menggeser posisi dari daun-daun tersebut. Berbuah sangat lebat. Tetapi sayangnya (sekali lagi) harga yang ditawarkan di pasar tradisional di kampung ini sangat mahal. Dua sampai tiga kali lipat dari harga yang ditawarkan di pasar wolowona, Kota Ende. Mengapa demikian? Adakah di antara pembaca yang budiman mengetahui alasan logis di balik semua ini? Danke.

 

NB : setelah ini mungkin saya akan riset, dan setelah mengetahui jawabannya, saya akan membuat postingan baru berisi penjelasan logisnya. Doakan semoga saya segera menemukan jawabannya ya.

 

 


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Rendang yang memikat hati

Baru-baru ini Indonesia dihebohkan oleh kedatangan Chef kondang dari Inggris Raya, Chef Gordon Ramsay. Sang chef berkolaborasi dengan Chef Wiliam Wongso yang juga merupakan chef terkenal skala asli Indonesia. Singkat cerita sang Chef memilih untuk memasak hidangan rendang dalam kunjungannya tersebut. Akan tetapi setelah melihat penampakan dari masakan yang katanya "rendang" tersebut, banyak  Urang Minang yang memprotes hasil masakan sang chef. Kata mereka hidangan itu disebut kalio di daerah asal mereka. Rendang dan kalio berbeda. Menurut mereka kalio merupakan rendang setengah jadi.

Perbedaan antara kalio dan rendang terdapat pada lama waktu yang digunakan untuk mengolahnya, warna masakan serta tingkat kekeringan masakannya. Kalio membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam, sedangkan rendang sekitar tujuh sampai delapan jam di atas api selama proses pengolahannya. Oleh karena waktu masaknya lama relatif lebih singkat, tekstur kalio lebih basah serta warna dagingnya lebih terang (kuning). Sedangkan rendang memiliki tekstur yang kering dan warna masakannya coklat kehitaman.

Merujuk dari komentar urang aseli Minang tersebut, saya teringat pada hasil masakan sendiri yang saya klaim sebagai rendang. Menjadi hobi saya untuk mencoba berbagai resep makanan yang dibaca dari mbah google. Bermula dari masakan sederhana seperti kering tempe, akhirnya saya mencoba masakan yang lebih menantang yakni kalio, yang sebelumnya saya klaim sebagai rendang tersebut.

Secara sepintas, salah penyebutan makanan tersebut tidak menjadi persoalan bagi orang banyak. Akan tetapi, bagi orang yang mencintai budaya serta paham identitas dirinya, hal tersebut menjadi masalah besar. Ya, makanan merupakan produk budaya dari daerah dimana ia dihasilkan. Makanan yang dihasilkan dari daerah tertentu memiliki sejarah dan folosofi tersendiri. Berdasarkan sebuah artikel yang dimuat di tirto id, istilah “rendang” berasal dari kata “marandang” yang bermakna “secara lambat”. Hal tersebut merujuk pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan masakan tersebut, yakni sekitar tujuh sampai delapan jam.

Bagi masyarakat Minang, rendang memiliki 3 makna tentang sikap, yaitu kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Ketiga unsur ini dibutuhkan dalam proses memasak rendang, termasuk memilih bahan-bahan berkualitas untuk membuatnya, sehingga terciptalah masakan dengan citarasa tinggi.

Setiap masakan tentunya memiliki sejarah dan filosofi tertentu, sehingga salah penyebutan dari nama masakan tertentu akan menuai banyak protes dari masyarakat yang merasa memiliki budaya tersebut. Produk budaya tersebut tercipta setelah melalui proses panjang dan melewati trial and error yang jumlahnya tidak sedikit itu. Penyebutan nama masakan yang benar juga merupakan salah satu bentuk penghormatan dan ucapan terimakasih dari Masyarakat Minang terhadap leluhurnya yang sudah menghasilkan produk masakan yang begitu legendaris bahkan pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia empat kali berturut-turut. Tabe.  


 




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kemarin, hari sabtu seperti biasa saya mengunjungi Pasar Waekesambi karena di hari itu pedagang-pedagang dari berbagai kampung membawakan hasil panen mereka untuk dijajakan di sana. Semua jenis buah-buahan dan sayur-mayur khas daerah setempat hadir jejer-berjejer seakan mempertaruhkan nasib mereka “jenis manakah yang lebih dahulu laku terjual?”. 

Ada sayur-mayur hasil domestikasi sampai sayur-mayur yang tumbuh liar di hutan. Ada buah lokal berkulit hijau sampai berkulit oranye. Soal harga jangan ditanyakan lagi, murah meriah muntah kata anak jaman now. Buah-buahan selalu mencuri perhatian. Saya suka membeli buah sesuai musimnya. Selain harganya yang tentu jauh lebih murah karena persediannya yang melimpah, kandungan gizi yang dihasilkannya pun lebih kaya. 

Menurut sebuah artikel, buah yang dihasilkan dimusimnya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi tubuh kita karena tidak berebut unsur hara saat bertumbuh dan berbuah, serta proses pembuahannya tidak dipaksakan (tidak ditambahkan zat-zat kimia tertentu untuk menghasilkan buah). 

Khasiat yang dihasilkan dari buah-buahan tersebut pun berbeda-beda sesuai dengan warna kulit buahnya. Buah berkulit hijau baik untuk detoksifikasi, kuning baik untuk kesehatan kulit, oranye: anti inflamasi, merah baik untuk kesehatan jantung, ungu untuk detoksifikasi (silahkan mencari artikel mengenai khasiat buah-buahan untuk validasi). Kemarin ada empat jenis buah yang dibeli yaitu jeruk, pepaya, jambu biji dan markisa. Yang mau diceritakan adalah jenis terakhir.                    

Setelah mengitari pasar, mata saya tertuju pada sekumpulan buah yang berada di hadapan seorang ibu. Ibu tersebut sedang melayani seorang pembeli yang berminat dengan buah labu jepang, salah satu barang dagangan sang ibu tersebut. Saat itu saya sedang terburu-buru, dan memotong pembicaraan si ibu dan bapa pembeli tersebut “berapa harga markisanya tanta?” tanya saya, “20 ribu, tapi ambil saja semua. Satu kilo lebih semuanya. Saya juga mau pulang” jawab ibu ini tanpa pikir panjang. “Baik sudah tanta. Saya ambil e” timpal saya. 

Setelah melayani si Bapa tadi, Sang Ibu mulai meletakkan buah tersebut ke sebuah timbangan. Setelah dimasukkannya markisa-markisa tersebut, ternyata hampir dua kilo semuanya. Rugi dong kalau ia melepaskan semuanya. Sang ibu kemudian hanya mengisi sekilo lebih sedikit ke dalam kantong belanjaan saya. Aksi protes pun tak dapat dielakkan “tadi katanya semuanya, kok ini lain lagi?” si Ibu senyum malu-malu lalu memasukkan kembali beberapa buah markisa ke dalam kantong belanjaan. 

Saya pun merasa bersalah dengan celetukkan tadi karena bagaimanapun juga si ibu pasti merasa rugi karena kelebihannya sampai dua kali lipat daripada jumlah yang harus ia lepaskan. Sementara saya bergumul dengan pikiran sendiri, sang ibu terus memasukkan markisa-markisa ini, tetapi dia sisakan tiga buah di lapaknya. Dengan rasa bersalah, saya lalu menambahkan sejumlah uang dan meminta sang Ibu untuk merelakan tiga buah tadi untuk dimasukkan ke kantong belanjaan saya. Senyum pun merekah dari wajah sang ibu.

Kasus di atas mengingatkan saya akan pesan seorang Pendeta dari GBI Rock Nabire, Papua. Beliau merupakan Bapak dari teman kos saya semasa kuliah di Jogja, Kak Sara namanya. Beberapa waktu lalu, Kak Sara beserta Bapak dan Mamanya mengunjungi Pulau Dewata dalam rangka mengikuti kegiatan gereja. Kebetulan waktu itu saya masih mengenyam pendidikan di sana. Kami ditugaskan untuk merebus sayur-sayuran sehat (Brokoli, kentang dan wortel waktu itu) dan membawanya ke hotel tempat Sang Pendeta dan istri menginap. 

Sayuran tersebut dijajakan harga yang sangat murah, tetapi naluri emak-emak kami merasa belum puas kalau kami belum melakukan proses tawar-menawar :D. Saat itu kami membawa pulang sayur-sayuran ini dengan harga yang lebih murah dari harga semula yang sudah murah itu. Sesampainya di hotel, dengan berapi-api kami menceritakan penawaran terbaik kami kepada Bapak dan Mama Kak Sara, seolah-olah hal itu sebuah merupakan prestasi terbesar. Lalu dengan halus Pak Pendeta menampar kami dengan kata-katanya “kalau tawar di pasar itu, terutama ke nenek-nenek tua itu jangan tawar turun, tetapi tawar naik. Maksudnya, kalau harganya 5 ribu kalian jangan tawar jadi 3 ribu, tetapi kalian membayar lebih dari harga yang ditawarkan. Kalian bisa memberikan ke orang yang bersangkutan, 7 ribu bahkan 10 ribu. Kalau pedagangnya bahagia dengan harga terbaik yang kalian berikan, yakin saja makanan tersebut akan menjadi berkat bagi kalian”. Seketika saya bagai tersambar petir (Kak Sara sepertinya tidak, karena mamtua su biasa dengar mungkin. Hahaha).

Mulai saat itu, saya mulai membiasakan diri untuk tidak melakukan tawar turun terutama apabila produk yang dibeli adalah makanan. Hal ini memang susah dilakukan terutama apabila naluri emak-emak sudah mulai bergejolak dan sering kali lupa akan nasihat tersebut. Akan tetapi saya selalu berusaha untuk menerapkannya. ternyata ada perbedaan di sana. Makanan-makanan yang dibeli sering berakhir di tempat sampah apabila penawaran yang dilakukan berlebihan a.ka tidak manusiawi (apalagi sii pedagang sampe muka asam) karena setelah itu akan hadir kemageran yang luar biasa untuk mengolahnya, atau karena rasanya tidak seenak ekspektasi (terutama buah). Sebaliknya, apabila sama sekali tidak tidak ada tawar-menawar waktu pembelian atau tawar-menawarnya masih dalam batas normal dan pedagang melepaskan dagangannya dengan senyuman manis, makanan tersebut akan terasa lebih enak dan pasti habis dilahap. Tabe.

Markisa, si pencuri perhatian
Markisa, si pencuri perhatian



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sesaat setelah pelepasan keberangkatan, foto bersama Bapak Wakil Gubernur NTT serta jajaran
Terberkati. Itulah satu kata yang terngiang-ngiang di kepala saya. Bagaimana bisa saya memijakkan kaki di negeri Kanguru ini? Bagaimana bisa saya mendapatkan beasiswa pendidikan vokasi di Universitas ternama ini? Bagaimana bisa saya belajar pariwisata (walaupun singkat) di Universitas dengan jurusan pariwisata terbaik se Australia dan terbaik kedua di dunia ini? Sungguh ini merupakan jawaban dari harapan-harapan saya selama ini, juga doa panjang mama seperti dalam lagu kondang itu “di Doa Ibuku”. Terimakasih Mama.
Sempat tidak percaya awalnya dengan pencapaian ini, walaupun mungkin bagi sebagian orang ini merupakan hal yang biasa-biasa saja.
Mendaftar, mengunggah dokumen, mengikuti wawancara sampai menunggu pengumuman akhir merupakan sebuah proses yang mendebarkan. Sempat berada di dua pilihan yang sulit, antara menerima tawaran kerja atau mengikuti program ini, tetapi hati lebih condong kepada pilihan kedua. Saat ini saya sama sekali tidak menyesali keputusan itu.
Pelatihan bahasa (IELTS) selama 4 minggu di Pusat Bahasa Undana beserta Mock Test IELTSnya memberikan cakrawala baru bagi saya. Sebelumnya saya tidak pernah mengikuti kursus IELTS karena sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mengikuti tes ini kita harus mengelurkan rupiah dalam jumlah yang cukup fantastis.
Bertemu teman-teman baru yang bertalenta serta sangat luar biasa  dan berbaur bersama selama di Pusat Bahasa dan rusunawa merupakan pengalaman yang tak ternilai. mereka berasal dari berbagai daerah dan pulau di NTT serta memiliki karakteristik serta keunikan masing-masing yang membuat moment-moment yang sudah terlewati, sekarang, dan yang akan dijalani selama dua bulan ke depan merupakan momen yang tak bisa terlupakan.
Terimakasih kepada Bapak Gubernur serta Wakil Gubernur serta semua pihak yang terlibat (Pusat Bahasa Undana dan Kopnakertrans NTT) yang telah memberikan kesempatan berharga ini. Tidak percaya dengan fasilitas-fasilitas yang kami dapatkan selama di Gold Coast ini. Semuanya beyond my expectation. Sangat luar biasa.
Tiba di Bandara Kota Brisbane


Rasanya seperti mimpi bisa menginjakan kaki di negeri ini. Suasananya sangat berbeda dengan di negara kita tercinta. Terkejut saat hendak menyebrang jalan dan semua mobil berhenti walaupun dalam kecepatan tinggi sebelumnya (pedestrian first). Public tranport di kota ini pun sangat nyaman sehingga dapat ditemui semua kalangan dalam mode transportasi ini. Kebersihan dan tata kota (zonasi) di sini, khususnya Gold Coast) tidak perlu ditanyakan lagi, sangat terencana. Keheningan serta keamanan kota ini bahkan lebih baik dari desa-desa di negara kita.


Hal yang paling mengejutkan adalah fasilitas apartment yang kami peroleh. Sangat lengkap, mewah serta berstandar internasional. Saya bersama 4 teman lainnya di tempatkan dalam satu apartment dengan 3 kamar. Di depan apartment terdapat kolam yang bisa  bisa diakses penghuni apartment dan di belakang apartment terdapat pantai yang bisa dipandang langsung dari dari ruang tamu maupun teras belakang apartment.
Foto bersama di Griffith University

Di hari pertama dan kedua di kota ini, kami diberi kebebasan untuk mengeksplor kota dan destinasi-destinasi wisatanya. Destinasi wisata pertama yang kami kunjungi adalah Sky Point, dimana dari ketinggian lantai ke 77 bisa dilihat keindahan Kota Gold Coast yang sangat luar biasa. Serius saya takjub. Saya tidak berhenti mengucapkan syukur dalam hati untuk salah satu hal terbaik dalam hidup saya ini. Untuk cerita mengenai Sky Point akan saya tulis dalam bagian terpisah.
Bersama teman satu apartment (dari kiri ke kanan : Elan, Erlin, Zerli, Novi, dan Angel)
Di hari ketiga, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu, kami menuju Kampus Griffith University dengan menggunakan tram (salah satu public transport di kota ini). Sambutan yang hangat kami dapatkan di sana, bukan hanya oleh gedung mewah, suasana yang nyaman, taman yang asri, tetapi juga oleh senyuman manis Sera Vada (salah satu pengajar kami, wanita keturunan Jepang dan Fiji), Sam (wanita keturunan Srilanka), juga Geoff (lelaki Australia tulen), juga Michael (lelaki berkebangsaan Indonesia yang sedang mengambil program doktor di universitas ini).

Salam hangat dari Australia
Novita

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Waktu kecil di rumah saya sering dimarahi mama ketika tidak menghabiskan makanan di piring. Saya diajarkan untuk bersyukur dan menghargai makanan. Mamatua beri contoh nyata beberapa orang di sekitar kami yang begitu sulit memenuhi kebutuhan Pangan mereka, bahkan untuk membeli satu kilo beras pun sangat susah. Bayangkan waktu kecil (SD kira2) saya sudah dijejali pemikiran seperti itu. Kata2 mama yg selalu saya ingat ketika kami mulai buang2 dan pilih2 makanan saat itu (mengingat saya dan adik saya Silvino Tani sangat kurus kering) adalah "Kami malu e orang lihat BapaMama badan gemuk2, kamu dua kurus sekali. Orang kira kami tidak kasih makan". Setelah beberapa kali kata2 mutiara itu keluar saya selalu berusaha untuk bertanggungjawab atas makanan yg sudah saya ambil, walaupun kadang masih ada kebocoran disana-sini. Hehehe
Beberapa tahun kemudian saya melanjutkan pendidikan ke tahap yg lebih tinggi, SMP dan saya dimasukkan ke asrama susteran sekolah. Disana aturan mengenai menghabiskan makanan sangat ketat. Tidak boleh ada makanan yg terbuang, kecuali remah2 makanan. Tahu apa konsekuensinya kalau kedapatan membuang makanan? Satu anggota meja makan (biasanya 8 orang) harus memakannya kembali, walaupun sudah tercampur dgn makanan2 sisa dari 8 piring yg berbeda, bahkan dengan air bekas cucian tangan setelah makan. Hmmm yakin? Yakin ferguso karena saya pernah mengalaminya. Mulai saat itu saya benar2 berusaha menghabiskan makanan asrama, walaupun menunya jauh lebih buruk dari menu di rumah (bayangkan 2-3 orang karyawati harus meyiapkan makanan untuk 150an anak asrama Putri untuk 3 kali makan dalam sehari). Saya semakin bertanggungjawab ketika Kaka kelas saya, yang kebetulan satu meja makan di asarama pernah bilang " kalau lu buang2 makanan, lu punya rejeki juga Tuhan potong". Saya tidak mau rejeki saya dipotong ferguso. Saya bersyukur sekali waktu itu, kelas 2 saya ditempatkan dalam satu meja yang sama dengan teman saya yg super bijak GabrielLa Mega dan dia pernah bilang ke teman2 satu meja, kira2 bgni kalimatnya "saya punya Opa bilang kalau kita buang satu biji nasi, kita akan ditahan 8 tahun di api penyucian. Bayangkan sudah kalau setiap hari kita buang 30 biji nasi, berapa tahun sudah kita ditahan di sana". Gaess mulai saat itu tidak ada satu biji nasi pun yg tersisa di piring saya, kecuali sudah terkontaminasi sambal karena saya paling tidak tahan sama yang namanya pedas.
Waktu tahun2 terakhir saya kuliah di Jogja saya bertetangga kamar dengan Nona Toraja Arrang Pawarrangan dan dia menceritakan sebuah cerita inspiratif perihal menghabiskan makanan di piring oleh gurunya semasa SMA. Ini penggalan ceritanya "saya punya guru pernah omong begini kaka 'sudah berapa tahun kalian mengambil makanan sendiri? Sudah lama kan? Jadi kenapa kalian tidak bisa menakar porsi kalian masing2' ternyata benar juga e".
Lalu waktu melanjutkan kuliah di Bali saya sering ditraktir seorang teman kelas asal Papua, orangnya baik sekali. Kan kalau makan saya tidak menyisakan satu biji makananpun kan, jadi Kaka ini mengira saya masih lapar dan diam2 memesan tambah makanannya, dan terpksa saya harus menghabiskannya walaupun setelah makan, bahkan untuk berdiri pun saya tidak sanggup lagi. Padahal kan saya makan" sampai bersih karena tanggungjawab.
Kemudian kemarin kan saya makan di rumah Ibu Kos (inilah alasan kenapa saya tulis status panjang lebar ini), trus lauknya kan ikan tembang. Saya ambil ikannya satu ekor, lalu setelah daging2nya sudah tercerna di lambung saya mulai masuk ke bagian favorit saya, isap2 tulangnya yg ada itam2nya dan mamtua kira saya masih mau makan ikan, trus mamatua bilang "ikan ada banyak2 tu kenapa Kaka makan tulangnya, ambil lagi saja ikannya". Yahhh, padahal kan saya mau menghabiskan ikannya biar tida ada bagian yg mubazir.
Inti dari tulisan ini adalah hargailah makanan yg ada di depan mata, ambilah sesuai dengan kesanggupan untuk menghabiskannya karena hal itu merupakan tanggungjawab kita. Kita tidak tahu ditempat lain orang2 terserang penyakit bahkan meninggal karena tidak memperoleh akses makanan yang layak. Tabe🙏
Sumber gambar : masfikr.com
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

About me

About Me


Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit consequat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amet nibh vulputate.

Follow Us

Labels

air asia air terjun always be my maybe angkutan umum asiatique australia bajra sandhi bali bangkok bts budaya budaya bali bus cafe tepi tebing catatan perjalanan catatan sore CBET CBT denpasar ekowisata Ende-Lio film flores gianyar Glur Hostel Gold Coast griffith university Gunung Gunung Api Gunung Api Purba gunung kidul hostel hua hin instagramable kebun raya kuliah lapangan kuliner Long Distance Relationship love story makanan matahari terbenam maybe moda transportasi museum museum 3D negeri seribu pagoda ngglanggeran NTT nusa dua olahraga pak chong pantai pasir putih payangan perjalanan wisata pork ribs thailand review rice terrace river boat river hoping sate babi singaraja subak sunset taman kota tegalalang teman baru thailand thailand trip travel journal travel literature ubud vokasi pariwisata waerebo wisata wisata alam Yogyakarta

recent posts

Blog Archive

  • ▼  2020 (5)
    • ▼  July (5)
      • Perjuangan Menuju Supermarket di Sunshine Coast, Q...
      • BELAJAR INVESTASI DARI MEDIA SOSIAL
      • Produk pertanian lokal dan permasalahannya
      • PANGAN DAN KEARIFAN LOKAL
      • Tawar Naik : Sebuah Pelajaran Hidup
  • ►  2019 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
  • ►  2017 (21)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ►  September (7)

Popular Posts

  • ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR
    ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR Teman perjalanan saya (kiri ke kanan : K,Sarah, Saya, Ulfa, Noni), foto oleh Bli G...
  • MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI
    Upacara pemberkatan kerbau secara adat untuk kemudian disembelih, foto oleh penulis Hari Sabtu 24 Juni 2017 merupakan hari berse...
  • Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestasi Budaya Bali
    Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis. Without agriculture tourism is nothing Itulah sepenggal kalimat yang keluar dari...

Blogger templates

Blogroll

About

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Distributed By Protemplateslab & Created with by BeautyTemplates