Laman

  • Beranda
  • halo, I am an amateur blogger
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

Search This Blog

Powered by Blogger.

Report Abuse

About me

Novi Tani
View my complete profile
  • Beranda

Mengenai saya

Novi Tani
View my complete profile

Perjuangan Menuju Supermarket di Sunshine Coast, Queensland

Selama bulan September sampai dengan Oktober 2019, saya dan 24 teman lain dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur memperoleh kesempatan ...

  • Beranda

Pariwisata, kebudayaan, dan perjalanan wisata

facebook google twitter tumblr instagram linkedin
MENYAMBANGI TAMAN KOTA RENON

Suasana Taman Kota (maaf fotonya berantakan, ngambilnya pakai mode panorama),
foto oleh penulis

Pikiranku begitu kacau. Tubuh ini begitu letih, padahal saya tidak melakukan aktivitas yang berarti. Mungkin ia merespons apa yang dirasakan oleh sang penguasa tubuh “otak”. Mungkin juga ia lelah karena berhari-hari terkurung dalam ruangan sempit berukuran 4*4 ini. Ya, saya butuh hiburan, tetapi hiburan yang sekaligus dapat memulihkan tubuh saya. Akhirnya sore ini saya memutuskan untuk latihan fisik di Taman Kota, tempat segala macam aktivitas berlangsung. Ditemani oleh kawan lama saya, yang kebetulan berkunjung ke kos, akhirnya kami menuju lokasi.


Suasana Taman Kota 2, foto oleh Penulis.
Museum Bajra Sandhi,
foto oleh Penulis

Julukan pulau surga yang disematkan untuk Pulau Bali memang tidak salah. Selain diberkahi dengan keindahan alam dan keunikan budayanya, di Pulau Bali juga bisa dinikmati fasilitas umum yang memadai dan gratis. Sebut saja Taman Kota yang disediakan secara cuma-cuma untuk berolahraga dan melangsungkan berbagai aktivitas lainnya. Berbagai jenis olahraga, dari olahraga secara individu sampai kelompok, dari olahraga ringan sampai berat, olahraga mainstream sampai anti-mainstream bisa dilakukan di sana. Saya memilih lari-lari kecil untuk latihan fisik saya hari ini.
Ketika mentari kembali ke peraduannya,
on frame : Ovi Leki
Hijaunya pemandangan di sekitar taman kota membuat pikiran semakin teduh, apalagi disediakan payung teduh (ah mbaknya belum move on dari lagu akad di nikahannya Babang Hamish ;)). Efek dari lari-lari kecil juga sangat terasa. Tubuh saya kembali pulih, walaupun harga yang harus dibayar adalah tubuh semakin membengkak akibat jajanan yang melimpah di sekitar taman. Lapar mata memang penyakit semua wanita (cita-cita kurus, tapi hobi makan?, kata mbok dagelan).
Dalam taman yang memiliki luas 30.000 M2 (data diperoleh dari Mbah Google) tersebut terdapat Museum Bajra Sandhi dan Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau yang lazim dikenal Museum 3D. Jadi selain meregangkan otot, pengunjung juga bisa sekalian belajar di tempat ini. Ketika lapar melanda, kemanakah harus mencari pasokan untuk mengisi ruang tengah? Tenang, banyak penjajah makanan di sekitar taman ini, seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Kalau kami menerima panggilan alam? Jangan khawatir, di sana disediakan dua kamar mandi umum yang cukup bersih, tetapi dikenakan biaya sebesar seribu rupiah per orang (tidak mahal-mahal sekali kan ya?). Mau minum air putih seusai olahraga? Eitsss jangan takut isi dompetmu berkurang yaa, karena disana disediakan air bersih secara gratis, namun sayangnya fasilitas tersebut sedang tidak bisa digunakan saat saya berolahraga tadi.
Sang penggoda iman
Olahraga Yoga berjamaah

air minum gratisnya lagi mogok,
yaaaaa penonton kecewa
Jadi kalau kamu mengunjungi Bali, jangan lupa menyambangi Taman Kota Renon ya. Bukannya saya mau mengajak kamu berolahraga (karena tentunya kamu masing-masing kota memiliki Taman Kotanya masing-masing), tetapi karena disini ada Museum yang menawarkan kekayaan sejarah dan keindahan seni, serta saya ingin kamu menikmati Bali dari sisi yang berbeda. Bukannya berbeda itu indah? (eh kok gak nyambung lagi? Wkwkwk).

Bagi kamu yang berdomisili di Bali, khususnya Kota Denpasar, yukkkk olahraga di Taman Kota (gak sayang fasilitas gratis diabaikan? ;)).  Ajakan ini disponsori oleh nona yang olahraganya setahun sekali :D. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments



 View Embung Ngglanggeran dari Puncak Gunung Purba,
foto oleh Ihyana Hulfa/Gege


Pada hari ke 10 saya menikmati liburan semester di Jogja, saya dan kawan-kawan (salah satunya teman Magister Kajian Pariwisata 2016, Ulfa) menuju ke kawasan ekowisata Gunung Api Purba Ngglanggeran yang terletak di Desa Ngglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Perjalanan dari pusat kota Yogyakarta menuju kawasan ekowisata tersebut memakan waktu kurang lebih satu jam. Sesampainya di sana kami pun segera memarkir kendaraan dan menuju ke loket untuk melakukan pembayaran. Setiap pengunjung dikenai biaya  tiket masuk seharga Rp 15.000,00 dan biaya parkir motor Rp 2.000,00 per motor.
Batu raksasa pengapit jalan,
In Frame : Ulfa, Gege, Ari, foto oleh Penulis
Batu Raksasa penghuni Gunung Api Purba,
foto oleh Ari/Ulfa/Gege
Setelah melakukan pembayaran, kami pun tidak sabar lagi untuk mencapai puncak. Pendakian kami pun dimulai dan dipandu oleh salah seorang teman yang sudah pernah kesana. Di sepanjang trek pendakian kami melewati lorong-lorong sempit yang diapiti oleh batu-batu raksasa. Di beberapa titik terdapat gardu pandang yang disediakan untuk menikmati pemandangan sekitar dari ketinggian. Ada juga pemandangan dua gunung raksasa, yakni gunung Merapi dan Merbabu. Sungguh indah. Di gardu pandang tersebut kami pun beristirahat sejenak sambil mengabadikan pemandangan dan momen-momen indah tersebut dalam bingkai kamera.
sayang lingkungan dong :)
foto oleh Ulfa

            Pendakian pun dilanjutkan. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhkan tulisan-tulisan berupa himbauan untuk menjaga lingkungan dengan rangkaian kalimat yang kocak khas anak muda yang lumayan mengocok perut. Selain gardu pandang, ada juga mata air sakral yang bernama mata air Comberan di salah satu titik. Di sini perempuan yang sedang datang bulan dilarang masuk. Setelah menempuh perjalan kurang lebih 45 menit kami pun sampai di puncak pertama. Di sana kami beristirahat sejenak, kemudian perjalanan dilanjutkan ke puncak kedua. Pemandangan yang sempurna. Dari puncak tersebut Embung Ngglanggeran terlihat sangat jelas dan menjadi background yang sangat bagus untuk berpose ria.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit di puncak, kami pun turun kembali. Di pos terakhir kami menemukan sebuah warung kejujuran. Kami kemudian berhenti di sana untuk membeli beberapa botol air mineral. Menurut salah satu anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis) kawasan ekowisata, warung kejujuran tersebut milik salah satu warga desa. Tambahnya pula, beberapa waktu yang lalu ada seorang pendaki yang tertarik dengan konsep warung kejujuran itu, kemudian ia menyumbangkan satu unit kulkas untuk pemilik warung kejujuran tersebut. Selain itu, ada juga peternakan kambing sebelum tiba di parkiran. Yang unik dari kandang tersebut adalah bentuknya yang cantik dan indah serta yang menempati kandang tersebut hanyalah kambing yang berwarna putih.
Pemandangan dari gardu pandang 2
view Gunung Kembar (Merapi-Merbabu) berjejer rapi di hadapan



          
Kantin Kejujuran ala masyarakat lokal
  Setibanya di pos, kami beristirahat sejenak sambil mengobrol dengan Bapak Triana, yang sudah disebutkan di atas. Beliau menjelaskan bahwa pihak pengelola kawasan ekowisata Gunung Api Purba mengusung konsep Community Based Eco-Tourism (CBET) dalam pengelolaan kawasan ekowisata tersebut. Dari retribusi sebesar Rp 15.000,00 yang dikenakan kepada pengunjung, Rp 2.000,00 diperuntukan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, sedangkan sisanya digunakan untuk perawatan lingkungan ekowisata, khas desa, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Selain itu, disana terdapat penginapan milik warga di bawah kaki gunung Purba, sehingga warga setempat bisa memperoleh pendapatan tambahan. Menurut Triana, pada tahun 2002/2003 harga tiket masuk hanya sebesar Rp 500,00 per orang, kemudian pada tahun 2007/2008 harga tiket dinaikkan menjadi Rp 7.000,00 per orang. Triana menyebutkan bahwa dalam sebulan, jumlah pengunjung rata-rata Rp 12.000,00 orang. Dengan membludaknya jumlah pengunjung, daya dukung lingkungan pun menurun. Kemudian dengan berbagai pertimbangan akhirnya pada bulan Juli tahun 2016 harga tiket dinaikkan menjadi Rp 15.000,00 per orang untuk siang hari dan Rp 20.000,00 per orang untuk malam hari agar kelestarian alam di kawasan tetap terjaga.
dari kiri ke kanan : Penulis, Pak Triana (Nara Sumber), dan Ari


            Kabar baiknya, pokdarwis kawasan ekowisata baru saja menerima penghargaan CBET di Singapura. Satu hal unik yang membuat saya terperangah adalah mereka, warga Desa Ngglanggeran membubuhi nama belakang mereka dengan tambahan Purba demi mempopulerkan kawasan ekowisata tersebut, sampai orang mengira kalau marga Purba Batak sudah berpindah ke Gunung Kidul. Wow luar biasa ya usaha mereka. Semoga kelestarian kawasan ekowisata tersebut tetap berlanjut.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
MENIKMATI MALAM DENGAN SEPORSI MAKANAN NASIONAL DISERTAI PENCUCI MATA "BULE CAKEP" DI PASAR TRADISIONAL SHINDU, SANUR


Foto oleh Yudha Eka Nugraha

Suasana pasar memang selalu punya pesona tersendiri, Setidaknya bagiku. Selain atmoser yang hangat, siapa yang dapat menampik bahwa pasar juga selalu menawarkan harga yang bersahabat. Ketika berbicara tentang pasar, kebanyakan orang akan membayangkan sayur, buah, daging, ikan serta keperluan rumah tangga lainnya. Ya memang begitulah kenyataan yang akrab di mata orang Indonesia. 
Suasana Pasar Shindu
Kali ini saya akan menulis mengenai pasar tradisional yang dominan menjajakan kuliner nusantara. Namanya pasar Shindu, tetapi teman-temanku kerap menyebutnya pasar senggol. Janganlah membanjiri saya dengan pertanyaan mengapa disebut pasar senggol karena saya pun tak tahu jawabannya. Cobalah bertanya pada rumput yang bergoyang (yaelah kok jadinya nyanyi sih? wkwkwk). Kata anak kekinian "maafkan adek bang karena sering salah fokus :D".
Kembali ke pasar Shindu. saya sudah beberapa kali mengunjungi pasar ini. Pertama kali berkunjung sekitar empat bulanan yang lalu, diajak oleh teman saya Tiara (si ratu kuliner, yang tahu segala macam tempat makan yang enak). 
kesegaran yang haqiqi
Kuliner yang dijajakan di pasar ini sangat beraneka ragam dan sangat Indonesia. Ada bakso, mie ayam, nasi goreng, bakmi, nasi campur, olahan daging babi, soto, sate, roti bakar, jus, serta makanan lainnya, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, mulai dari yang rasanya manis sampai yang rasanya pedes, semuanya ada. 
Pertama kali makan di sana, saya mencoba sate madura yang dijajakan di salah satu sudut pasar ini. Tentang rasanya? Wah, sangat enak. tidak kalah enaknya dengan sate-sate yang dijajakan di tempat-tempat mahal seantero Indonesia (sotoy banget sih? emang pernah makan sate di restoran lu? wkwkwk) karena lidah tidak bisa berbohong. Soal harga? Tidak usah khawatir karena harganya sangat bersahabat. Selain sate, kuliner yang pernah saya coba adalah es buah, jus buah, bakso, mie ayam serta soto ayam. Semuanya enak-enak karena harganya murah meriah (maklum anak kosan). 
Teman kelas, teman kos, teman main
kiri ke kanan (Ander, k'Ika, Topan, Novi, Ulfa, Yudha)
foto oleh mas-mas yang lewat di sana
Kuliner nusantara bila dipadukan dengan pelanggan internasional memang sangat serasi. Indera perasa dan indera penglihatan memang benar-benar dimanjakan. Bagaimana tidak? Rasa enak yang bersumber dari makanan serta pemandangan bule-bule cakep dari berbagai belahan dunia memiliki sensasi tersendiri. Sensasi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. cukup datang dan nikmati sendiri setiap detik, menit, jam yang kau habiskan di setiap kursi-kursi kayu dan plastik yang berjejer rapi di sana.
Menurut salah satu pedagang di sana, pasar tersebut dibuka pada jam 6 sore dan ditutup pada jam 11 malam. Datanglah lebih awal agar kau bisa memanjakan kedua inderamu sepuas hatimu.
Teman asrama jaman SMA dan dua teman baru dari Belgia
dari kiri ke kanan (Yuni, Novi, Ernesta, Nora, Sumiya, Ovi)
foto oleh Bapak tukang sate
Oh ya, saya lupa. Saya mau mengisahkan sedikit pengalaman berkesan saya saat mengunjungi pasar ini. Dua hari yang lalu saya bersama teman-teman asrama saya saat SMA menghabiskan malam di sini dan kami sempat mengobrol dengan dua orang bule asal Moroko tetapi dilahirkan dan dibesarkan di Belgia, dan sekarang masih menetap di Brusel, ibukota dari negara Belgia tersebut. Obrolan hangat tercipta di menit-menit awal ketika kami secara terbuka bercerita mengenai banyak hal tentang kehidupan masing-masing pihak. Siapa yang dapat menyangka bahwa di Benua Eropa yang dianggap kaya raya dan menakjubkan, ternyata ada yang hidup di jalanan?Siapa pula yang menyangka bahwa Eropa yang selalu dianggap bangsa kelas satu tersebut banyak penduduk miskinnya? ternyata pengetahuan saya tentang Eropa masih sekecil debu yang beterbangan. Terimakasih informasinya kawan.
Salah satu kawan dari Belgia yang bernama Sumiyah mengisahkan bahwa dia sampai menitikkan air mata saat menginjakkan kaki di bumi pertiwi ini. Keren sekali ya negeri kita :) Dia harus berganti pesawat tiga kali untuk menikmati pulau dewata beserta isinya. Si kawan sangat senang ketika ada penduduk lokal yang mau mengajaknya berbicara dan berbagi cerita dengannya. Dia mencintai Asia dan ingin mendapatkan kekasih hati dari Asia. Siapa yang mau mendaftar? hayo angkat tangannya (jangan angkat kakinya ya, awas terbanting. wkwkwk).
Lain halnya dengan Nora. Saya sangat menyukai gadis ini. Gaya bicaranya yang sangat khas Eropa sesekali diselingi bisikan-bisikan seolah-olah sedang membicarakan sebuah rahasia besar, membuatnya begitu menggemaskan. Si kawan ini juga sangat blak-blakan ketika membicarakan sesuatu. Dia banyak berbagi mengenai pengalamannya mengelilingi dunia, membuat saya dan kawan-kawan berangan untuk bisa menginjakkan ke satu saja negara di luar Indonesia. 
Akhir cerita, ketika kami hendak membayar makan malam kami, kata ibunya sudah dibayarkan sama si Nora. Wah beruntung sekali kami malam itu. Bisa menemukan teman baru, sekaligus bisa menyantap makan malam secara GRATISTISTISTIS. Sungguh nikmat Tuhan mana yang bisa kau dustakan? Ah senang sekali bisa berkenalan dengan kalian sobat. 
Suasana Pasar Shindu

BACA JUGA :

GREENBOWL : PANTAI TERSEMBUNYI DI SISI SELATAN PULAU DEWATA

TERHEMPAS OMBAK TERBAKAR MATAHARI DI PANTAI DREAMLAND

ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR

MENYAMBANGI TAMAN KOTA RENON 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Pintu Masuk Kebun Raya Gianyar (masih dalam pengerjaan), foto oleh Nonny Sunaryo
Ketika membaca pesan WA dari Bli Alit, ketua angkatan kami di grup angkatan bahwa hari sabtu tanggal 9 september kami diundang untuk bergabung dalam pengabdian masyarakat program studi kajian pariwisata, saya sangat bahagia. Kalian pasti bertanya-tanya “kok bahagia sih?” yah saya bahagia karena pengabdian masyarakat artinya jalan-jalan lagi, dan yang terpenting adalah gratis (huhh dasar anak kos).
Penasaran sama lokasinya? Kali ini kami berkesempatan untuk mengunjungi Kebun Raya Gianyar atau nama internesienelnya (sok inggris) Gianyar Botanical Garden.
Hijau membentang sepanjang perjalanan, foto oleh penulis
Semalam sebenarnya udah persiapan buat bangun pagi, tapi apa daya takdir berkata lagi. Syukur digedorin Topan yang pagi tadi datang menjemput duo hijabers (makasih lho pan wkwkwk). Walau udah digedorin Topan, tetapi karena belum mandi dan melakukan ritual-ritual kewanitaan lainnya, akhirnya saya ketinggalan bis gratis. Saya disaranin sama katrin dan nonny buat nyusul naik motor. Sebenarnya awalnya malas banget buat nyusul sendirian, tapi karena udah lama gak nyusurin Bali dan sekitarnya akibat libur berkepanjangan akhirnya saya nyusul juga naik motor sendirian.
Cuaca hari ini sangat bersahabat men. Entah karena cuacanya kasihan saya atau gimana, pokoknya saya merasa perjalanan single saya hari ini menyenangkan. Udara dingin yang alam sajikan, pemandangan hijau di sepanjang perjalanan yang alam sediakan menjadikan perjalanan hari ini memberikan pelajaran berharga buat saya. Yupss, pelajaran untuk lebih banyak bersyukur, untuk menyadari bahwa Tuhan sudah punya rencana untuk setiap ciptaannya (yaelahhh sok rohani kali pun diriku).
Tanaman sayur di Kebun Raya Gianyar, foto oleh penulis
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, akhirnya saya tiba di TKP, eh ternyata gak ada orangnya. Saya pun kembali ke kampung dekat TKP buat bertanya, tetapi di sana saya malah bertemu sama ketiga teman saya yang juga nyusul di sebuah warung. Ternyata sodara-sodara, rombongan bis masih di Kantor Desa Kerta dikarenakan ada diskusi di sana. Karena bosan nunggu, akhirnya kami memesan pop mie sama ibu pemilik warung. Setelah mienya tersaji di depan kami, muncullah rombongan bis. Sial kan? Hmmm. Yasudah, akhirnya kami terburu-buru menghabiskan pop mie tadi (sayang banget gak dihabisin). Kami pun kemudian menyusul kawan-kawan ke TKP.
keadaan kebun raya di Balai pertemuan dan sekitarnya, foto oleh penulis.

Dan tarangggg di sana kami disiapkan oleh panitia nasi kotak. Rejeki anak solehah benar-benar ya? Wkwkwk. Nyampe dan makan. Asyik banget kan? Makanannya enak pula. Setelah makan siang kami pun berkumpul di balai pertemuan untuk berdiskusi bersama para dosen, pejabat desa, serta pengurus kebun raya. Karena saya mengantuk berat, materi yang diberikan pun hanya sedikit yang nyantol. Materi yang diberikan seputar ekowisata dan dalam sesi diskusi ada penyataan dan pertanyaan dari mahasiswa yang intinya mengkhawatirkan ekowisata di kebun raya tersebut akan menjadi mass tourism/wisata masal.
Pohon Keladi Raksasa, foto oleh Nonny Sunaryo

Monumen pohon cinta, foto oleh penulis.
Setelah melewati sesi diskusi, kami pun diajak mengelilingi kebun raya untuk sekedar memanjakan mata sekaligus belajar. Apa yang kami temukan dalam petualangan kami kali ini sodara-sodara? Kami menemukan pohon keladi raksasa, yang tingginya bisa mencapai dua kali lipat tinggi manusia. Wah luar biasa kan? Saya belum pernah menemukan keladi setinggi ini sebelumnya. Paling mentok sebahulah tingginya. Selain itu kami juga menemukan pohon cinta. Konon katanya pohon ini berbentuk cinta, tetapi tidak bisa dilihat secara kasat mata, karena tinggi dan bentuk hatinya menjorok ke dalam hutan lebat. Tetapi jangan khawatir karena ada monumen temporernya yang bisa dipakai pengunjung buat berselfie ria. Satu lagi yang tidak kalah unik dari kebun raya tersebut adalah keberadaan pohon hamil? Kenapa disebut pohon hamil? Saya pun tidak tahu. Mungkin karena bagian tengah pohon yang sedikit mengembung sehingga menyerupai perempuan hamil.

Pohon hamil, foto oleh penulis
sebenarnya masih banyak lagi tanaman bali yang bisa kami lihat, mengingat kebun raya tersebut memiliki lahas seluas kurang lebih sepuluh hektar, namun dikarenakan oleh waktu yang terbatas, akhirnya petualangan kami berakhir setelah mengunjungi pohon hamil. Terimakasih prodi s2 kajian pariwisata yang sudah memfasilitasi perjalanan kami pada hari ini. Sampai bertemu pada pengabdian-pengabdian berikutnya.








BACA JUGA :

ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR

PESONA MATAHARI TERBENAM DAN CAFE TEPI TEBING DI PANTAI SULUBAN

MELAWAT KE KAMPUNG WAEREBO : MAGNET WISATA DI PULAU BUNGA
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI

Jatiluwih!  Sebuah nama yang asing bagi saya. Setelah berdinamika dalam kelas perkuliahan matrikulasi barulah saya mendengar penjelasan dari beberapa dosen mengenai Jatiluwih itu sendiri. Pada hari terakhir matrikulasi, tepatnya pada hari Jumat, 12 Agustus 2016 kami mahasiswa baru dari program studi Magister Kajian Pariwisata (MKP) diberikan kesempatan untuk mengunjungi sistem subak yang berlokasi di Jatiluwih yang telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai World Cultural Heritage/Warisan Budaya Dunia (WBD) sekaligus berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) setempat.
Walaupun sudah melihat gambar subak di internet maupun di power point pada materi yang disajikan oleh beberapa dosen dalam perkuliahan matrikulasi, saya sangat penasaran dengan bentuk dan rupa nyata dari sistem subak di desa tersebut. Semalam sebelum jadwal keberangkatan ke DTW tersebut saya sudah menyetel alarm untuk keesokan harinya agar bisa bangun pada pukul 05:20 WITA, tetapi ternyata saya tidak bisa bangun di waktu yang sudah saya rencanakan sebelumnya karena tidur yang sangat lelap. Akhirnya saya tersadar dan bangun pada pukul 05:50 WITA. Saya pun sempat panik, khawatir akan terlambat karena saya sudah berjanji akan menjemput salah seorang teman sekelas saya (kebetulan berdekatan kos). Akhirnya saya memanfaatkan waktu yang sangat minim itu sebaik mungkin untuk bersiap-siap lalu buru-buru menjemput teman dan berangkat ke kampus, meeting point kami, untuk kemudian sama-sama berangkat ke Jatiluwih. Untungnya kami tidak terjebak macet dan tiba di kampus pukul 06:45 WITA, lebih cepat dari waktu yang ditetapkan yakni pukul 07:00 WITA.
Setibanya di kampus kami sempat ngobrol dengan beberapa teman dan beberapa saat kemudian kami diberitahu bahwa  kami terbagi ke dalam dua kelompok bis yang didasarkan pada nomor induk mahasiswa kami. Saya sendiri menempati bis nomor satu dengan sembilan belas teman lainnya dan Pak Darma Putra. Perjalanan kami pun dimulai. Sepanjang perjalanan saya menikmati pemandangan di kiri dan kanan jalan. Luar biasa indah dan kaya tanah bali ini. Saya pun berbicara dengan di samping saya mengenai keindahan arsitektur bangunan rumah penduduk di sepanjang perjalanan juga mengenai kemakmuran dan ketersediaan beberapa toko, bengkel besar, minimarket yang ada di desa-desa di sepanjang perjalanan kami. Di tempat saya, Flores, kalau yang namanya Desa, bahkan Kecamatan sangat sulit untuk menemukan minimarket, toko, ataupun bengkel besar.
Setelah menempuh kira-kira dua jam perjalanan kami pun tiba di DTW Jatiluwih. Sebelum memasuki loket retribusi kami sudah disuguhkan oleh pemandangan yang sangat unik dan indah.
Gambar 1. Pemandangan subak sepanjang perjalanan diambil dari kaca bis


Bis pun menurunkan kami di depan sebuah restoran yang ada di daerah tersebut. Beberapa mahasiswa termasuk saya yang tidak bisa menolak panggilan alam langsung mencari tempat yang paling istimewa untuk menyetor bensin. Setelah beberapa dari kami menjawab panggilan alam, kami pun di arahkan untuk menuju ke depan monumen WBD  dari UNESCO untuk bertemu dengan bapak I Wayan Suka, selaku pemandu wisata lokal untuk selanjutnya melakukan trekking. Pak I Wayan Suka menawarkan tiga alternatif trekking yakni short, middle dan long trekking dan kami sepakat untuk memilih middle trekking dengan lama tempuh kurang lebih satu jam. 
Gambar 2. Aliran air tembuku dan
tanya jawab antara teman dari
MKP dan Bapak I Wayan Suka.
Perjalanan kami menyusuri Subak Jatiluwih pun dimulai. Sepanjang perjalanan beberapa teman melemparkan beberapa pertanyaan kepada bapak I Wayan Suka, yang direspon dengan jawaban yang cukup memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan umumnya seputar subak itu sendiri, subak sebagai Warisan Budaya Dunia, sistem pengelolaan subak, dan banyak pertanyaan lainnya dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dari sekian banyak pertanyaan kira-kira yang menjadi intinya adalah sistem subak ini sudah ada sejak jaman dahulu, dimana sistem tersebut tercipta karena kondisi geografis Desa Jatiluwih dan beberapa daerah sekitarnya yang miring sehingga sangat sulit bagi petani setempat untuk membuat sawah seperti umumnya sawah di tempat lain. Sawah tersebut kemudian dikelola dengan sistem aliran air yang bernama tembuku. Sekilas tembuku terlihat seperti drainase yang terdapat di kota, tetapi dalam drainase tersebut terdapat cabang-cabang, dimana di cabang-cabang tersebut ukuran drainasenya bervariasi, yang menurut pak I Wayan Suka ukuran tersebut menunjukkan besarnya sawah, yang berimbas pada besarnya sumbangan yang diberikan oleh pemilik sawah kepada pengelola subak. 
Oleh karena keunikan tersebut, subak kemudian diusul oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk  menjadi WBD kepada UNESCO, tetapi baru diakui oleh UNESCO pada tahun 2012. Sejak diakui UNESCO kunjungan wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara melonjak drastis. Tercatat tahun 2014 jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai angka 165.144 dengan pendapatan sebesar Rp 2,915 milyar. Menurut penuturan pak I Wayan Suka sawah-sawah yang ada di subak Jatiluwih bisa dijual tetapi tidak boleh dibangun bangunan apapun.
Gambar 3. Monumen Subak
Jatiluwih sebagai WBD.
Setelah beberapa sesi tanya jawab di aliran temuku, perjalanan dilanjutkan. Ditengah perjalanan, rute trekking akhirnya diubah karena pada jam 11 para Mahasiswa dan Dosen harus berkumpul di Kantor Desa untuk berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola DTW setempat. Rute baru tersebut sangatlah ekstrim untuk sebagian besar teman tetapi tidak bagi saya (karena saya adalah anak kampung yang sering melewati rute-rute seperti itu, bahkan lebih ekstrim lagi). Ada beberapa teman yang terjatuh, yang tercebur ke dalam selokan sepanjang melintasi areal persawahan, ada pula yang tersesat, sehingga dalam diskusi dengan aparat desa dan pengelola DTW salah seorang teman dari MKP dalam nada bercanda menambahan bahwa bukan hanya tiga kategori trekking di Subak Jatiluwih, tetapi ada empat yakni long, middle, short dan lost trekking.



Gambar 4. Salah seorang teman
yang terjatuh saat melewati subak.
Selesai melewati perjalanan sawah kami pun beranjak ke kantor kepala desa. Kami dikumpulkan di sebuah aula mini untuk berdiskusi. Banyak hal yang kami dapatkan sepanjang diskusi aktif berlangsung. Pertanyaan inti menurut saya yang dilontarkan oleh mahasiswa alasan mengapa tidak diberinama WBD tetapi Daerah Tujuan Wisata, padahal nama Jatiluwih sendiri mulai tersohor karena ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO adalah karena belum dibentuknya Badan Pengelolah Daerah Tujuan Wisata oleh Pemerintah Daerah Tabanan, padahal pemerintah Desa setempat sudah menyerukan pembentukan badan tersebut sejak lama. Diskusi pun ditutup dengan penyampaian kesan oleh mahasiswa MKP yang dilanjutkan dengan makan siang. Setelah makan siang kami beranjak menuju ke depan untuk berfoto bersama lalu naik ke bis masing-masing untuk kembali ke kota Denpasar.
Gambar 5. Foto bersama seusai berdiskusi di aula Kantor Desa

Baca juga :

Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestasi Budaya Bali

Keladi Raksasa, Pohon Cinta, dan Pohon Hamil : Daya Tarik Kebun Raya Gianyar

MENYAMBANGI TAMAN KOTA RENON
MENIKMATI MALAM DENGAN SEPORSI MAKANAN NASIONAL DISERTAI PENCUCI MATA "BULE CAKEP" DI PASAR TRADISIONAL SHINDU, SANUR
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Penulis di pelataran kampung waerebo, foto oleh Yudha Eka Nugraha

Siapa yang tidak mengenal Waerebo? Kampung ini rasanya tidak asing asing lagi terdengar di telinga orang Indonesia, khususnya kaum muda yang suka akan budaya dan travelling.
Kampung ini terletak di dataran tinggi Kabupaten Manggarai Barat dan semakin fenomenal setelah memperoleh penghargaan tertinggi, Award of Excellence atas konservasi rumah tradisional mbaru niang, dalam konservasi warisan budaya 2012 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) kawasan Asia Pasifik.
Beruntungnya kami, mahasiswa S2 Kajian Pariwisata Universitas Udayana beserta dosen pembimbing kami, Pak Dr. Syamsul Paturusi memperoleh kesempatan juga untuk melawat kampung unik tersebut setelah mengunjungi Taman Nasional Komodo yang masih terletak di Pulau Flores juga.
Setelah mengunjungi Taman Nasional Komodo dan kembali ke Labuan Bajo sore harinya, kami terpecah ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok yang kembali menuju Denpasar, Kelompok yang menginap di Labuan Bajo untuk keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Waerebo, dan kelompok terakhir adalah kelompok kami yang terdiri dari lima anggota, di antaranya saya sendiri, Ulfa, Nonny, Eggo, dan Ander yang pada malam itu juga langsung menuju ke Ruteng dan melanjutkan perjalanan ke Waerebo keesokan harinya.

Perjalanan ke Waerebo

Wajah  salah satu ruas jalan menuju Waerebo dan anak kecil
 yang meminta uang pajak, foto oleh penulis
Perjalanan ke Waerebo dimulai pada pukul 12.30 WITA dari Kota Ruteng. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan alam yang begitu menawan. Hijaunya persawahan yang membentang di kaki gunung dan sejuknya udara pegunungan membawa kesan tersendiri bagi perjalanan kami. Janganlah mengharapkan perjalanan dengan rute yang biasa seperti di Jawa dan Bali jika mengunjungi Flores. Jalanan berlubang dan sempit juga berkelok serta tanjakan dan turunan yang curam menjadi pemandangan yang biasa di sana.
Di tengah perjalanan kami dihentikan oleh sekelompok anak kecil, kira-kira kelas satu sampai tiga Sekolah Dasar di jalanan berbatu bekas sungai dan mereka meminta uang (istilah keren orang Flores : pajak) karena mereka sudah merapikan batu agar bisa dilewati mobil. Sang sopir pun memberikan uang sebesar Rp. 2.000 setelah sedikit basa basi busuk dengan anak-anak tersebut dan mereka dengan girang hati sambil mengucapkan terimakasih menerima uang tersebut. 
Perjalanan menuju Waerebo, dari Belakang ke depan Ander,
Ulfa, Noni, Ego, foto oleh penulis
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam kami pun tiba di kampung Denge dan dilanjutkan dengan ojek menuju pos satu, lalu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, ditemani guide lokal (sebut saja Kraeng Roni). Selama perjalanan kami mencecari sang guide dengan berbagai pertanyaan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 2 jam dan melewati pos 3, kami pun tiba di kampung tersebut. Perasaan gembira bercampur haru pun menyelimuti wajah dan hati kami berlima. Akhirnya kami bisa menaklukan perjalanan menuju ke tempat ini.


Upacara Penerimaan
Pasukan lengkap backpacker berwefie ria bersama 
sang guide (yang mengenakan jaket merah)  
sambil menikmati kopi asli Waerebo
Sebagai simbol bahwa ada tamu yang akan masuk ke kampung, salah satu dari kami diminta oleh sang guide untuk membunyikan kentungan di pos tiga. Kentungan pun dibunyikan oleh Ulfa. Kami pun langsung menuju kampung dan masuk ke salah satu Mbaru Niang. Di sana kami diterima secara adat oleh salah satu kepala suku di sana. Menurut sang guide, dengan penerimaan adat ini kami didoakan oleh sang ketua adat agar selamat selamat di kampung tersebut hingga perjalanan pulang. Setelah upacara penerimaan tersebut kami sempat melakukan sedikit sesi tanya jawab dengan salah satu penghuni rumah adat tersebut (bukan ketua adat) yang mengerti bahasa Indonesia. Setelah itu kami di antar ke rumah penginapan yang berupa rumah Mbaru Niang juga untuk minum kopi dan persiapan makan malam lalu dilanjutkan dengan sedikit bersenda gurau dengan teman-teman kami yang sudah tiba dahulu serta wisatawan lainnya kemudian istirahat.

Peraturan di Kampung Waerebo
Saya sempat membaca di beberapa blog dan juga pemberitahuan dari beberapa teman bahwa selama di Kampung Waerebo tidak diperkenankan untuk memakai celana pendek dan baju yukensi. Ternyata menurut sang guide hal itu tidak dipermasalahkan. Yang menjadi masalah adalah ketika wisatawan memakai pakaian dalam saja (maaf menyebutnya, biasanya dilakukan oleh wisatawan internasional).
Selain itu, untuk menuju ke Kampung Waerebo, wisatawan harus didampingi oleh guide lokal, dimana mereka merupakan warga asli waerebo dan Denge.
Wisatawan juga diharapkan untuk mendengarkan arahan dari guide demi keselamatan dan kenyamanan dalam perjalanan.
Nostalgia Penemuan Kampung Waerebo oleh Bapak Yori Antar
Bersama Bapak Dosen dan teman-teman MKP 
2016 di pelataran kampung
Dituturkan oleh seorang Bapak di Rumah Mbaru Niang (lupa namanya)  bahwa awalnya rumah Mbaru Niang sebenarnya sudah mengalami banyak kerusakan tetapi keadaan buruk tersebut lantas terselamatkan berkat Bapak Yori Antar dari Yayasan Kasih Ibu yang peduli terhadap Warisan Budaya tersebut.
Dikisahkan bahwa Bapak Yori dan tim biasanya merayakan 17 agustus ke Kampung-Kampung, dan kebetulan tahun 2008/09 timnya ke Waerebo. Diceritakan bahwa sebenarnya tujuan beliau dan tim adalah ke Sumba Barat Daya dan Bajawa. Dalam perjalanan ke bajawa mereka menemukan gambar di sebuah rumah makan di Aimere lalu bertanya ke pemilik rumah makan mengenai kampung ini dan mereka diarahkan ke ruteng, lalu dilanjutkan ke waerebo.
Kebetulan waktu itu Waerebo sedang didampingi oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, namanya Ekosia dari Amerika Serikat. Kebetulan juga waktu itu LSM tersebut mendatangkan mahasiswa dari Taiwan dan dosen arsitek, dan sedang merehab rumah Mbaru Niang ini.
Pak Yori penasaran lantaran orang dari luar Indonesia memiliki keinginan untuk membantu. Kemudian beliau bertanya,  tidak adakah orang Indonesia yang berniat membantu? Beliau kemudian bergerak dan meminta masyarakat setempat untuk membuat proposal dan Pak Yori sendiri yang mencari donaturnya.  Kemudian dengan bantuan-bantuan dari donatur tersebut akhirnya pada tahun 2009 direhab satu rumah Mbaru Niang, lalu tahun 2009 direhab satu lagi, dan tahun 2011 dibangun tiga sekaligus. Dua rumah untuk penginapan serta satu lainnya untuk ditempati oleh keluarga warga Waerebo.

Pendapatan Warga Setempat
Pesona kampung waerebo dari ketinggian, 
foto oleh Ander/Ego
Disini akan dibahas mengenai pendapatan warga di dua kampung, yakni Kampung Waerebo dan Denge karena kedua warga dari kedua kampung ini masih memiliki hubungan darah yang dekat dan sama-sama memperoleh keuntungan dari daya tarik rumah Mbaru Niang.
Warga Kampung Denge ada yang berprofesi sebagai tukang ojek, yang mengantar wisatawan dari tempat parkir mobil sampai ke pos satu. Menurut penuturan Bapak Andre, tukang ojek yang saya tumpangi, dalam sehari saat high season, dia memperoleh pendapatan sebesar 600 rubian. Sedangkan pada hari itu, saat saya menumpang ojeknya, menurutnya sepi dan hanya memperoleh pendapatan sebesar 100 ribuan.
Selain ojek, Warga Denge dan Waerebo juga memperoleh pendapatan dari menjadi guide. Untuk satu rombongan wisatawan, guide lokal memperoleh bayaran sebesar 200 ribu rupiah. Bayaran yang diperoleh guide tersebut seratus persen masuk ke kantongnya, tanpa menyerahkan sepersekiannya untuk pihak pengelola.
Menurut Kraeng Roni, siapa saja boleh menjadi guide, asalkan yang bersangkutan mau dan pastinya harus warga lokal. Pemilik homestay, Bapak Blasius yang mengatur para guide yang hendak mengantar tamu.
Selain itu warga Kampung Waerebo memperoleh pendapatan dari menjual Kayumanis dan Kopi, yang merupakan komoditas utama mereka.
Pendapatan yang tidak kalah besarnya diperoleh dari sektor Pariwisata, yakni retribusi yang dibayar oleh wisatawan saat berkunjung ke kampung tersebut, yakni sebesar 325 ribu per orang jika menginap, dan 200 ribu jika menginap.

Kesempatan untuk melakukan penelitian
Di sela-sela pembicaraan kami mengenai Kampung Waerebo, saya tanyakan juga kepada Kraeng Roni mengenai kesempatan untuk melakukan penelitian di kampung tersebut. Kraeng Roni menjelaskan bahwa setahu dia belum ada mahasiswa pariwisata yang melakukan penelitian di kampung tersebut. Jadi jika ada teman-teman yang berminat, silahkan mengajukan proposal untuk melakukan penelitian di sana.

BACA JUGA :
MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI

JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI

Keladi Raksasa, Pohon Cinta, dan Pohon Hamil : Daya Tarik Kebun Raya Gianyar

ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me


Aenean sollicitudin, lorem quis bibendum auctor, nisi elit consequat ipsum, nec sagittis sem nibh id elit. Duis sed odio sit amet nibh vulputate.

Follow Us

Labels

air asia air terjun always be my maybe angkutan umum asiatique australia bajra sandhi bali bangkok bts budaya budaya bali bus cafe tepi tebing catatan perjalanan catatan sore CBET CBT denpasar ekowisata Ende-Lio film flores gianyar Glur Hostel Gold Coast griffith university Gunung Gunung Api Gunung Api Purba gunung kidul hostel hua hin instagramable kebun raya kuliah lapangan kuliner Long Distance Relationship love story makanan matahari terbenam maybe moda transportasi museum museum 3D negeri seribu pagoda ngglanggeran NTT nusa dua olahraga pak chong pantai pasir putih payangan perjalanan wisata pork ribs thailand review rice terrace river boat river hoping sate babi singaraja subak sunset taman kota tegalalang teman baru thailand thailand trip travel journal travel literature ubud vokasi pariwisata waerebo wisata wisata alam Yogyakarta

recent posts

Blog Archive

  • ►  2020 (5)
    • ►  July (5)
  • ►  2019 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
  • ▼  2017 (21)
    • ►  December (6)
    • ►  November (3)
    • ►  October (5)
    • ▼  September (7)
      • MENYAMBANGI TAMAN KOTA RENON
      • PESONA SEBUAH NAMA : PURBA YANG MELEGENDA
      • MENIKMATI MALAM DENGAN SEPORSI MAKANAN NASIONAL DI...
      • Keladi Raksasa, Pohon Cinta, dan Pohon Hamil : Day...
      • JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI
      • MELAWAT KE KAMPUNG WAEREBO : MAGNET WISATA DI PULA...
      • MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LI...

Popular Posts

  • ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR
    ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBAR Teman perjalanan saya (kiri ke kanan : K,Sarah, Saya, Ulfa, Noni), foto oleh Bli G...
  • MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI
    Upacara pemberkatan kerbau secara adat untuk kemudian disembelih, foto oleh penulis Hari Sabtu 24 Juni 2017 merupakan hari berse...
  • Tegalalang Rice Terrace : Lanskap Alami Manifestasi Budaya Bali
    Suasana Subak Tegalalang, foto oleh Penulis. Without agriculture tourism is nothing Itulah sepenggal kalimat yang keluar dari...

Blogger templates

Blogroll

About

FOLLOW ME @INSTAGRAM

Distributed By Protemplateslab & Created with by BeautyTemplates