MELAWAT KE KAMPUNG WAEREBO : MAGNET WISATA DI PULAU BUNGA
![]() |
Penulis di pelataran kampung waerebo, foto oleh Yudha Eka Nugraha
|
Siapa
yang tidak mengenal Waerebo? Kampung ini rasanya tidak asing asing lagi
terdengar di telinga orang Indonesia, khususnya kaum muda yang suka akan budaya
dan travelling.
Kampung
ini terletak di dataran tinggi Kabupaten Manggarai Barat dan semakin fenomenal
setelah memperoleh penghargaan tertinggi, Award
of Excellence atas konservasi rumah tradisional mbaru niang, dalam
konservasi warisan budaya 2012 United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO)
kawasan Asia Pasifik.
Beruntungnya
kami, mahasiswa S2 Kajian Pariwisata Universitas Udayana beserta dosen
pembimbing kami, Pak Dr. Syamsul Paturusi memperoleh kesempatan juga untuk melawat
kampung unik tersebut setelah mengunjungi Taman Nasional Komodo yang masih
terletak di Pulau Flores juga.
Setelah
mengunjungi Taman Nasional Komodo dan kembali ke Labuan Bajo sore harinya, kami
terpecah ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok yang kembali menuju Denpasar,
Kelompok yang menginap di Labuan Bajo untuk keesokan harinya melanjutkan
perjalanan ke Waerebo, dan kelompok terakhir adalah kelompok kami yang terdiri
dari lima anggota, di antaranya saya sendiri, Ulfa, Nonny, Eggo, dan Ander yang
pada malam itu juga langsung menuju ke Ruteng dan melanjutkan perjalanan ke
Waerebo keesokan harinya.
Perjalanan ke Waerebo
![]() |
Wajah salah satu ruas jalan menuju Waerebo dan
anak kecil
yang meminta uang pajak, foto oleh penulis
|
Perjalanan
ke Waerebo dimulai pada pukul 12.30 WITA dari Kota Ruteng. Sepanjang perjalanan
kami disuguhkan pemandangan alam yang begitu menawan. Hijaunya persawahan yang
membentang di kaki gunung dan sejuknya udara pegunungan membawa kesan
tersendiri bagi perjalanan kami. Janganlah mengharapkan perjalanan dengan rute
yang biasa seperti di Jawa dan Bali jika mengunjungi Flores. Jalanan berlubang
dan sempit juga berkelok serta tanjakan dan turunan yang curam menjadi
pemandangan yang biasa di sana.
Di
tengah perjalanan kami dihentikan oleh sekelompok anak kecil, kira-kira kelas
satu sampai tiga Sekolah Dasar di jalanan berbatu bekas sungai dan mereka
meminta uang (istilah keren orang Flores : pajak) karena mereka sudah merapikan
batu agar bisa dilewati mobil. Sang sopir pun memberikan uang sebesar Rp. 2.000
setelah sedikit basa basi busuk dengan anak-anak tersebut dan mereka dengan
girang hati sambil mengucapkan terimakasih menerima uang tersebut.
![]() |
Perjalanan menuju Waerebo, dari
Belakang ke depan Ander,
Ulfa, Noni, Ego, foto oleh penulis
|
Setelah
menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam kami pun tiba di kampung Denge
dan dilanjutkan dengan ojek menuju pos satu, lalu menempuh perjalanan dengan berjalan
kaki, ditemani guide lokal (sebut saja Kraeng Roni). Selama perjalanan kami
mencecari sang guide dengan berbagai pertanyaan. Setelah menempuh perjalanan
kurang lebih selama 2 jam dan melewati pos 3, kami pun tiba di kampung
tersebut. Perasaan gembira bercampur haru pun menyelimuti wajah dan hati kami
berlima. Akhirnya kami bisa menaklukan perjalanan menuju ke tempat ini.
Upacara Penerimaan
![]() |
Pasukan
lengkap backpacker berwefie ria bersama
sang guide (yang mengenakan jaket
merah)
sambil menikmati kopi asli
Waerebo
|
Sebagai
simbol bahwa ada tamu yang akan masuk ke kampung, salah satu dari kami diminta oleh
sang guide untuk membunyikan kentungan di pos tiga. Kentungan pun dibunyikan
oleh Ulfa. Kami pun langsung menuju kampung dan masuk ke salah satu Mbaru
Niang. Di sana kami diterima secara adat oleh salah satu kepala suku di sana.
Menurut sang guide, dengan penerimaan adat ini kami didoakan oleh sang ketua
adat agar selamat selamat di kampung tersebut hingga perjalanan pulang. Setelah
upacara penerimaan tersebut kami sempat melakukan sedikit sesi tanya jawab
dengan salah satu penghuni rumah adat tersebut (bukan ketua adat) yang mengerti
bahasa Indonesia. Setelah itu kami di antar ke rumah penginapan yang berupa
rumah Mbaru Niang juga untuk minum kopi dan persiapan makan malam lalu
dilanjutkan dengan sedikit bersenda gurau dengan teman-teman kami yang sudah
tiba dahulu serta wisatawan lainnya kemudian istirahat.
Peraturan di Kampung Waerebo
Saya
sempat membaca di beberapa blog dan juga pemberitahuan dari beberapa teman
bahwa selama di Kampung Waerebo tidak diperkenankan untuk memakai celana pendek
dan baju yukensi. Ternyata menurut sang guide hal itu tidak dipermasalahkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika wisatawan memakai pakaian dalam saja (maaf
menyebutnya, biasanya dilakukan oleh wisatawan internasional).
Selain
itu, untuk menuju ke Kampung Waerebo, wisatawan harus didampingi oleh guide
lokal, dimana mereka merupakan warga asli waerebo dan Denge.
Wisatawan
juga diharapkan untuk mendengarkan arahan dari guide demi keselamatan dan
kenyamanan dalam perjalanan.
Nostalgia Penemuan Kampung Waerebo
oleh Bapak Yori Antar
![]() |
Bersama Bapak Dosen dan teman-teman MKP
2016 di pelataran kampung
|
Dituturkan
oleh seorang Bapak di Rumah Mbaru Niang (lupa namanya) bahwa awalnya rumah Mbaru Niang sebenarnya
sudah mengalami banyak kerusakan tetapi keadaan buruk tersebut lantas
terselamatkan berkat Bapak Yori Antar dari Yayasan Kasih Ibu yang peduli terhadap
Warisan Budaya tersebut.
Dikisahkan
bahwa Bapak Yori dan tim biasanya merayakan 17 agustus ke Kampung-Kampung, dan
kebetulan tahun 2008/09 timnya ke Waerebo. Diceritakan bahwa sebenarnya tujuan
beliau dan tim adalah ke Sumba Barat Daya dan Bajawa. Dalam perjalanan ke
bajawa mereka menemukan gambar di sebuah rumah makan di Aimere lalu bertanya ke
pemilik rumah makan mengenai kampung ini dan mereka diarahkan ke ruteng, lalu
dilanjutkan ke waerebo.
Kebetulan
waktu itu Waerebo sedang didampingi oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, namanya
Ekosia dari Amerika Serikat. Kebetulan juga waktu itu LSM tersebut mendatangkan
mahasiswa dari Taiwan dan dosen arsitek, dan sedang merehab rumah Mbaru Niang
ini.
Pak
Yori penasaran lantaran orang dari luar Indonesia memiliki keinginan untuk
membantu. Kemudian beliau bertanya, tidak
adakah orang Indonesia yang berniat membantu? Beliau kemudian bergerak dan
meminta masyarakat setempat untuk membuat proposal dan Pak Yori sendiri yang mencari
donaturnya. Kemudian dengan
bantuan-bantuan dari donatur tersebut akhirnya pada tahun 2009 direhab satu
rumah Mbaru Niang, lalu tahun 2009 direhab satu lagi, dan tahun 2011 dibangun
tiga sekaligus. Dua rumah untuk penginapan serta satu lainnya untuk ditempati
oleh keluarga warga Waerebo.
Pendapatan Warga Setempat
Pesona kampung waerebo dari ketinggian,
foto oleh Ander/Ego
|
Warga
Kampung Denge ada yang berprofesi sebagai tukang ojek, yang mengantar wisatawan
dari tempat parkir mobil sampai ke pos satu. Menurut penuturan Bapak Andre,
tukang ojek yang saya tumpangi, dalam sehari saat high season, dia memperoleh pendapatan sebesar 600 rubian.
Sedangkan pada hari itu, saat saya menumpang ojeknya, menurutnya sepi dan hanya
memperoleh pendapatan sebesar 100 ribuan.
Selain
ojek, Warga Denge dan Waerebo juga memperoleh pendapatan dari menjadi guide.
Untuk satu rombongan wisatawan, guide lokal memperoleh bayaran sebesar 200 ribu
rupiah. Bayaran yang diperoleh guide tersebut seratus persen masuk ke
kantongnya, tanpa menyerahkan sepersekiannya untuk pihak pengelola.
Menurut
Kraeng Roni, siapa saja boleh menjadi guide, asalkan yang bersangkutan mau dan
pastinya harus warga lokal. Pemilik homestay, Bapak Blasius yang mengatur para
guide yang hendak mengantar tamu.
Selain
itu warga Kampung Waerebo memperoleh pendapatan dari menjual Kayumanis dan
Kopi, yang merupakan komoditas utama mereka.
Pendapatan
yang tidak kalah besarnya diperoleh dari sektor Pariwisata, yakni retribusi
yang dibayar oleh wisatawan saat berkunjung ke kampung tersebut, yakni sebesar
325 ribu per orang jika menginap, dan 200 ribu jika menginap.
Kesempatan untuk melakukan
penelitian
Di
sela-sela pembicaraan kami mengenai Kampung Waerebo, saya tanyakan juga kepada
Kraeng Roni mengenai kesempatan untuk melakukan penelitian di kampung tersebut.
Kraeng Roni menjelaskan bahwa setahu dia belum ada mahasiswa pariwisata yang
melakukan penelitian di kampung tersebut. Jadi jika ada teman-teman yang
berminat, silahkan mengajukan proposal untuk melakukan penelitian di sana.
BACA JUGA :
MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI
JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI
Keladi Raksasa, Pohon Cinta, dan Pohon Hamil : Daya Tarik Kebun Raya Gianyar
ONE DAY TOUR : ALING-ALING, KROYA, PUCUK, DAN KEMBARBACA JUGA :
MENGENAL LEBIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ENDE LIO : UPACARA PEI HOLO KAMBA DAN POTO WATU NITU PAI
JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI
Keladi Raksasa, Pohon Cinta, dan Pohon Hamil : Daya Tarik Kebun Raya Gianyar
0 comments