JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI
JATILUWIH : MANIFESTASI BUDAYA MASYARAKAT BALI
Jatiluwih! Sebuah nama yang asing bagi saya. Setelah
berdinamika dalam kelas perkuliahan matrikulasi barulah saya mendengar
penjelasan dari beberapa dosen mengenai Jatiluwih itu sendiri. Pada hari
terakhir matrikulasi, tepatnya pada hari Jumat, 12 Agustus 2016 kami mahasiswa
baru dari program studi Magister Kajian Pariwisata (MKP) diberikan kesempatan
untuk mengunjungi sistem subak yang berlokasi di Jatiluwih yang telah
ditetapkan oleh UNESCO (United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai World Cultural Heritage/Warisan Budaya
Dunia (WBD) sekaligus berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola Daerah Tujuan
Wisata (DTW) setempat.
Walaupun
sudah melihat gambar subak di internet maupun di power point pada materi yang
disajikan oleh beberapa dosen dalam perkuliahan matrikulasi, saya sangat
penasaran dengan bentuk dan rupa nyata dari sistem subak di desa tersebut. Semalam
sebelum jadwal keberangkatan ke DTW tersebut saya sudah menyetel alarm untuk
keesokan harinya agar bisa bangun pada pukul 05:20 WITA, tetapi ternyata saya
tidak bisa bangun di waktu yang sudah saya rencanakan sebelumnya karena tidur
yang sangat lelap. Akhirnya saya tersadar dan bangun pada pukul 05:50 WITA.
Saya pun sempat panik, khawatir akan terlambat karena saya sudah berjanji akan
menjemput salah seorang teman sekelas saya (kebetulan berdekatan kos). Akhirnya
saya memanfaatkan waktu yang sangat minim itu sebaik mungkin untuk bersiap-siap
lalu buru-buru menjemput teman dan berangkat ke kampus, meeting point kami, untuk kemudian sama-sama berangkat ke
Jatiluwih. Untungnya kami tidak terjebak macet dan tiba di kampus pukul 06:45
WITA, lebih cepat dari waktu yang ditetapkan yakni pukul 07:00 WITA.
Setibanya
di kampus kami sempat ngobrol dengan beberapa teman dan beberapa saat kemudian
kami diberitahu bahwa kami terbagi ke
dalam dua kelompok bis yang didasarkan pada nomor induk mahasiswa kami. Saya
sendiri menempati bis nomor satu dengan sembilan belas teman lainnya dan Pak
Darma Putra. Perjalanan kami pun dimulai. Sepanjang perjalanan saya menikmati
pemandangan di kiri dan kanan jalan. Luar biasa indah dan kaya tanah bali ini.
Saya pun berbicara dengan di samping saya mengenai keindahan arsitektur
bangunan rumah penduduk di sepanjang perjalanan juga mengenai kemakmuran dan
ketersediaan beberapa toko, bengkel besar, minimarket yang ada di desa-desa di
sepanjang perjalanan kami. Di tempat saya, Flores, kalau yang namanya Desa,
bahkan Kecamatan sangat sulit untuk menemukan minimarket, toko, ataupun bengkel
besar.
Setelah
menempuh kira-kira dua jam perjalanan kami pun tiba di DTW Jatiluwih. Sebelum
memasuki loket retribusi kami sudah disuguhkan oleh pemandangan yang sangat
unik dan indah.
![]() |
Gambar 1. Pemandangan subak sepanjang perjalanan diambil dari kaca bis |
Bis
pun menurunkan kami di depan sebuah restoran yang ada di daerah tersebut.
Beberapa mahasiswa termasuk saya yang tidak bisa menolak panggilan alam
langsung mencari tempat yang paling istimewa untuk menyetor bensin. Setelah
beberapa dari kami menjawab panggilan alam, kami pun di arahkan untuk menuju ke
depan monumen WBD dari UNESCO untuk
bertemu dengan bapak I Wayan Suka, selaku pemandu wisata lokal untuk
selanjutnya melakukan trekking. Pak I
Wayan Suka menawarkan tiga alternatif trekking
yakni short, middle dan long trekking dan kami sepakat untuk
memilih middle trekking dengan lama
tempuh kurang lebih satu jam.
![]() |
Gambar 2. Aliran air tembuku dan tanya jawab antara teman dari MKP dan Bapak I Wayan Suka. |
Perjalanan kami menyusuri Subak Jatiluwih pun
dimulai. Sepanjang perjalanan beberapa teman melemparkan beberapa pertanyaan
kepada bapak I Wayan Suka, yang direspon dengan jawaban yang cukup memuaskan.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan umumnya seputar subak itu sendiri, subak
sebagai Warisan Budaya Dunia, sistem pengelolaan subak, dan banyak pertanyaan
lainnya dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dari sekian banyak pertanyaan
kira-kira yang menjadi intinya adalah sistem subak ini sudah ada sejak jaman
dahulu, dimana sistem tersebut tercipta karena kondisi geografis Desa Jatiluwih
dan beberapa daerah sekitarnya yang miring sehingga sangat sulit bagi petani
setempat untuk membuat sawah seperti umumnya sawah di tempat lain. Sawah
tersebut kemudian dikelola dengan sistem aliran air yang bernama tembuku.
Sekilas tembuku terlihat seperti drainase yang terdapat di kota, tetapi dalam
drainase tersebut terdapat cabang-cabang, dimana di cabang-cabang tersebut
ukuran drainasenya bervariasi, yang menurut pak I Wayan Suka ukuran tersebut menunjukkan
besarnya sawah, yang berimbas pada besarnya sumbangan yang diberikan oleh
pemilik sawah kepada pengelola subak.
Oleh
karena keunikan tersebut, subak kemudian diusul oleh Pemerintah Kabupaten
Tabanan untuk menjadi WBD kepada UNESCO,
tetapi baru diakui oleh UNESCO pada tahun 2012. Sejak diakui UNESCO kunjungan
wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara melonjak drastis. Tercatat tahun
2014 jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai angka 165.144 dengan pendapatan
sebesar Rp 2,915 milyar. Menurut penuturan pak I Wayan Suka sawah-sawah yang
ada di subak Jatiluwih bisa dijual tetapi tidak boleh dibangun bangunan apapun.
![]() |
Gambar 3. Monumen Subak Jatiluwih sebagai WBD. |
Setelah
beberapa sesi tanya jawab di aliran temuku, perjalanan dilanjutkan. Ditengah
perjalanan, rute trekking akhirnya
diubah karena pada jam 11 para Mahasiswa dan Dosen harus berkumpul di Kantor
Desa untuk berdiskusi dengan Kepala Desa dan Pengelola DTW setempat. Rute baru
tersebut sangatlah ekstrim untuk sebagian besar teman tetapi tidak bagi saya
(karena saya adalah anak kampung yang sering melewati rute-rute seperti itu,
bahkan lebih ekstrim lagi). Ada beberapa teman yang terjatuh, yang tercebur ke
dalam selokan sepanjang melintasi areal persawahan, ada pula yang tersesat,
sehingga dalam diskusi dengan aparat desa dan pengelola DTW salah seorang teman
dari MKP dalam nada bercanda menambahan bahwa bukan hanya tiga kategori trekking di Subak Jatiluwih, tetapi ada
empat yakni long, middle, short dan lost trekking.
![]() |
Gambar 4. Salah seorang teman yang terjatuh saat melewati subak. |
Selesai
melewati perjalanan sawah kami pun beranjak ke kantor kepala desa. Kami
dikumpulkan di sebuah aula mini untuk berdiskusi. Banyak hal yang kami dapatkan
sepanjang diskusi aktif berlangsung. Pertanyaan inti menurut saya yang
dilontarkan oleh mahasiswa alasan mengapa tidak diberinama WBD tetapi Daerah
Tujuan Wisata, padahal nama Jatiluwih sendiri mulai tersohor karena ditetapkan
sebagai WBD oleh UNESCO adalah karena belum dibentuknya Badan Pengelolah Daerah
Tujuan Wisata oleh Pemerintah Daerah Tabanan, padahal pemerintah Desa setempat
sudah menyerukan pembentukan badan tersebut sejak lama. Diskusi pun ditutup
dengan penyampaian kesan oleh mahasiswa MKP yang dilanjutkan dengan makan
siang. Setelah makan siang kami beranjak menuju ke depan untuk berfoto bersama
lalu naik ke bis masing-masing untuk kembali ke kota Denpasar.
![]() |
Gambar 5. Foto bersama seusai berdiskusi di aula Kantor Desa |
0 comments